LIMA PULUH DUA

24.6K 1.4K 22
                                    

"Lo kenapa?"

Kania menyandarkan punggungnya di kepala sofa. Ia menghembuskan napas pelan dengan mata terpejam. Menghadapi salah satu orang yang pernah membuatnya menderita di masa lalu sangat menguras energinya. Kania merasa sangat lelah hingga bisa ketiduran kapan saja.

"Lo kenapa?" Bara mengulangi pertanyaannya. Saat ini mereka berada di kamar Kania. Bara memutuskan untuk mampir karena mengkhawatirkan cewek itu. Setelah bertemu perempuan bernama Chacha di cafe, sikap Kania menjadi aneh.

Kania membuka matanya. Dia benar-benar ingin menangis sekarang. Namun ia berusaha untuk tersenyum. "Nggak pa-pa, gue cuma capek."

Bara tidak puas dengan jawaban Kania. Namun ia tidak ingin memaksa Kania untuk menjelaskan yang sebenarnya. Sebenarnya ada satu hal yang sedari tadi mengusik pikiran Bara; mengapa Chacha memanggil Kania dengan nama Olivia? Setahunya, nama lengkap Kania hanya terdiri dari dua kata, yaitu Kania Yujian. Tetapi sekali lagi, Bara tidak bisa menanyakan soal itu sekarang.

Bara menghela napas sebelum ia duduk di sebelah Kania, ikut bersandar di kepala sofa. Dia melirik paper bag di ujung sofa, mengambilnya, lantas memberikannya pada Kania. "Untuk lo," ujar Bara.

Perhatian Kania teralih sejenak ke paper bag yang diberikan Bara. Dibukanya paper bag tersebut dan mengeluarkan isinya dengan sedikit senyum di wajahnya. Senyum itu berubah menjadi kekehan kecil. "Kapan lo beli ini?" tanyanya sambil memandang boneka keramik kecil berbentuk panda.

"Gue suruh Aldi yang beli. Gantiin Pipi yang gue ambil waktu itu."

Wajah Kania mendadak berubah warna menjadi merah. Pipi itu nama boneka keramik babi yang ia berikan pada Bara dalam kondisi mabuk. Yang membuat ia merasa malu adalah mengingat tingkah memalukan yang ia tunjukkan pada saat itu. "Ma-makasih." Kania bergumam, namun Bara bisa mendengarnya dengan jelas.

"Tunjukin sikap imut lo lagi, kayak waktu lo mabuk," goda Bara.

"Bar!" Kania memukul lengan Bara.

"Waktu itu lo juga cium gue. Itu ciuman pertama kita, kan?" Bara tidak berniat berhenti menggoda Kania. Wajah malu-malu Kania adalah favoritnya.

"Gue nggak inget!"

"Lo nyiumnya agresif banget."

Kania mendelik. "Bohong! Gue cuma nempelin bentar aja!" ucapnya, tak terima, namun kemudian memukul wajah Bara dengan bantal sofa. "Jangan ngomong lagi lo!"

Bara terkekeh kecil. "Oke-oke." Sejenak ia hanya menatap Kania dalam diam. Senyumnya perlahan mengembang dan tanpa sadar ia mengulurkan tangan untuk mengacak rambut Kania. "Sekarang kasih tau gue soal rencana lo ke Australia."

"Hm?" Kania mengangkat sebelah alisnya. "Bonyok gue nyuruh gue kuliah di Autralia, gue juga maunya gitu. Setelah lulus nanti gue langsung ke sana."

"Kenapa kita nggak langsung nikah aja setelah lulus SMA?" canda Bara sambil tersenyum menggoda.

"Ogah," tolak Kania dengan malas. "Lo? Rencana lo setelah lulus gimana?"

"Mau langsung nikah aja," jawab Bara.

"Yang serius!"

Bara tertawa kecil, lalu mengangkat bahunya dengan acuh tak acuh. "Belum gue pikirin."

Ponsel Bara tiba-tiba berdering. Ia mengambil ponselnya di dalam saku celana, melihat nama Tantenya tertera dalam layar, Bara segera mengangkatnya. "Halo Tante, kenapa?"

"...."

"Iya, aku ke sana sekarang." Cowok itu segera menutup telponnya dengan wajah cemas.

Kania yang melihat perubahan ekspresi itu menjadi agak khawatir. "Kenapa?" tanyanya.

"Nyokap gue masuk rumah sakit. Gue harus ke sana sekarang." Bara mengambil ranselnya lalu bangkit.

Mendengar itu, Kania ikut cemas. "Gue boleh ikut?"

"Lo istirahat aja. Nanti gue kabarin." Bara tahu Kania sedang banyak pikiran, jadi ia ingin Kania istirahat untuk menenangkan pikirannya.

Pada akhirnya Kania hanya bisa pasrah. Ia mengangguk lalu membiarkan Bara pergi. Setelah hanya ada dia sendiri di kamar itu, Kania kembali memejamkan mata. Pikirannya kembali kacau sampai membuat kepalanya sakit.

"Chacha ...," gumam Kania. "Kenapa kita ketemu lagi?"

***

Bara berlarian di lorong rumah sakit. Langkahnya kemudian melambat saat pandangannya mengangkap sesosok cewek yang tengah duduk di kursi panjang depan ruang inap. Bara menghampiri cewek itu dengan napas terpenggal. "Nyokap gue di dalem?" tanya Bara sembari menunjuk pintu ruang inap yang ada di sampingnya.

"Iya. Tante Shena tadi pingsan, tapi sempet bangun dan sekarang lagi tidur. Jangan terlalu berisik, nanti Tante Shena bangun."

Bara mengangguk. Ia hendak masuk, namun pada akhirnya ia hanya diam sambil memegang gagang pintu.

"Kenapa nggak masuk?" tanya Hana.

Bara mengurungkan niatnya untuk masuk karena tidak ingin mengganggu ibunya. Sampai ibunya bangun nanti, barulah ia akan menemuinya. Tapi pada Hana, ia hanya menggeleng. "Kenapa nyokap gue bisa masuk rumah sakit?"

"Tante Shena berantem sama Om Jordan. Terus Tante pingsan karena penyakit jantungnya tiba-tiba kambuh," ungkap Hana. Dia mendesah pelan sambil memandang Bara lekat-lekat. "Udah ketauan."

Mendengar dua kata terakhir, Bara mengepal tangannya. "Bangsat! Bajingan bangsat!" maki Bara dengan suara tertahan. Dia mengacak rambutnya frustrasi.

"Udah gue bilang, kasih tau Tante Shena dari awal. Kalau Tante Shena tau sendiri, dia jadi lebih syok kayak sekarang."

Bara meninju udara dengan amarah. Dia menggertakan giginya karena emosi.

Jordan si bajingan itu berselingkuh.

Bara sudah mengetahui fakta itu sejak lama. Namun ia memilih menyembunyikannya dari Shena. Dan kini ia menyesali keputusan tersebut.

Bara melihat Shena dari kaca pintu. Ibunya itu sudah bangun. Cowok itu buru-buru masuk ke dalam untuk menemui Shena.

"Bara," panggil Shena ketika melihat Bara melangkah menghampirinya. Ia merubah posisinya menjadi duduk.

"Jangan duduk, tetep tiduran aja, Ma," pinta Bara, namun Shena tak mendengarkannya.

"Papa kamu ... Papa kamu selingkuh!" Shena berucap dengan suara gemetar. Dia tidak bisa menahan air matanya yang mengalir deras.

Bara hanya diam, tidak tahu harus berkata apa.

"Tante, Tante tenang dulu." Hana berdiri di samping Bara. Kecemasan begitu kentara di wajahnya.

"Papa kamu selingkuh, Bara!" Shena tidak menyangka akan dikhianati oleh suaminya. Selama ini hubungannya dengan Jordan baik-baik saja, bahkan mereka hampir tidak pernah bertengkar. Ia kira ia sudah menjadi istri yang sempurna, sehingga tidak pernah berpikir bahwa suaminya akan bermain api di belakangnya.

"Apa Mama keliatan semakin tua? Mama jelek, ya, Bara? Mama ... bau dapur?" Shena meraba-raba wajahnya dan menghirup aroma tubuhnya. Ia berpikir alasan Jordan selingkuh adalah penampilannya yang semakin tua dan jelek.

Bara menggeleng cepat, tidak setuju dengan apa yang Shena ucapkan. "Nggak ada yang salah sama penampilan Mama, Mama nggak pernah berubah. Yang salah itu Papa. Dia bajingan."

Shena melihat sendiri wanita selingkuhan Jordan. Dan Shena tidak bisa menyangkal bahwa wanita itu jauh lebih cantik dari dirinya. Itu membuat kepercayaan diri Shena runtuh seketika. Sampai saat ini ia menganggap bahwa penampilannyalah yang membuat suaminya berpaling.

Bara frustrasi mendengar ibunya meracau menjelek-jelekkan penampilannya sendiri. Beberapa kali ia dan Hana mencoba menenangkan Shena, namun Shena tidak mau mendengar dan tak henti-hentinya meracau.

***

Semoga suka!

IDENTITY (END) Where stories live. Discover now