Tujuh

735 108 185
                                    

"Bukan apa-apa

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

"Bukan apa-apa. Dia mikir gue kenalannya. Tapi salah orang," jelas Zita saat Theo menerjangnya dengan berbagai pertanyaan sekembalinya ia ke kantin. "Anyway, Moza ke mana?"

Zita celingukan mencari keberadaan Moza untuk mengalihkan pembicaraan. Ia enggan mendapat rentetan pertanyaan sepupunya yang terkadang terasa berlebihan meski ia tahu tujuannya baik.

"Ke toilet," jawab Theo.

Zita manggut-manggut mengerti sambil menyesap sisa es jeruknya. Ekor matanya lalu menangkap keberadaan Iddar yang tengah berjalan menuju meja mereka sambil membawa mangkok dan minuman dingin kemudian duduk di sebelah Kayla.

"Awas nggelinding tuh bola mata!" tegur Theo pada Kayla yang belum lelah terperangkap pesona seorang Iddar.

"Sirik tanda tak mampu. Iri ya, karena nggak seganteng Iddar?" cibir Kayla.

"Berantem mulu, awas jodoh!" celetuk Iddar enteng.

"Gue aminin paling serius!" sahut Zita dengan anggukan mantap.

Theo dan Kayla kompak mendecih tak sudi secara bersamaan. Membuat Zita tertawa melihat respon sepasang musuh itu. Namun, tawanya langsung lenyap saat melihat Reinaldi datang menghampiri meja mereka. Sungguh Zita membenci situasi itu.

Tak mau membuang waktu, Zita langsung berdiri, menyampirkan satchel bag-nya di pundak dan pamit pergi lebih dulu.

Melihat Zita pergi, Reinaldi berniat untuk menyusul. Namun, Theo lebih dulu menahannya dengan isyarat sebuah gelengan kecil. Sebuah ketegasan tanpa kata yang membuat Reinaldi menghela napas kemudian mendudukkan diri di kursi, meraup wajahnya dengan rasa frustasi.

Kayla yang melihat itu kontan berdiri untuk menyusul Zita. Iddar yang ada di sebelahnya mengamati gadis berambut brunette itu berjalan mengitari meja. Ketika melangkah di balik punggung Theo, Kayla menoleh padanya sekali lagi. Tatapan mereka lantas bertemu di udara, membuat Iddar kontan melayangkan senyuman termanisnya.

...

Jam sudah menunjukkan pukul empat sore, sudah setengah jam Zita duduk sendiri di halte untuk menunggu line angkot yang mengarah ke daerah kosannya. Ia mulai merasa menyesal karena telah menolak tawaran Theo yang berniat mengantarnya tadi.

"Mbak," panggil seorang pemuda dengan gelas kertas berisi iced coffee di tangan kanannya. "Maaf, sebelumnya ... boleh saya pinjam handphone-nya? Soalnya hape saya mati karena habis daya dan kebetulan saya ada janji penting dengan teman. Saya takut kami simpangan jalan dan batal bertemu."

Zita menatap ragu pada pria bersurai hitam yang tengah berdiri di samping kanannya itu. Mengira-ngira apakah itu adalah kedok penipuan gaya baru atau murni sebuah permintaan tolong. Menyadari keraguan di wajahnya, pria itu lantas memindahkan gelasnya ke tangan kiri. Tangan kanan ia gunakan untuk merogoh saku celana, mengeluarkan benda pipih berwarna putih lalu memberikannya pada Zita.

My True Me (END)Where stories live. Discover now