Tujuh Belas

620 101 319
                                    

Moza berjalan di area tribun gymnasium Universitas Mandala untuk menghampiri Theo yang duduk di tengah-tengah kosongnya bangku penonton

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Moza berjalan di area tribun gymnasium Universitas Mandala untuk menghampiri Theo yang duduk di tengah-tengah kosongnya bangku penonton. Pemuda itu tampak meneguk minuman dari kaleng berwarna hijau milik salah satu brand bir terkenal.

"Lo mau dipecat jadi mahasiswa karena kobam di sini?" tanya Moza seraya duduk di samping kiri Theo. Ia melirik sekilas pada dua kaleng kosong yang tergeletak di dekat kakinya. Menunjukkan jika agenda minum-minum itu sudah dilakukan sejak beberapa waktu lalu.

"Zita ke mana?" sahut Theo.

"Kantin, sama Kayla," jawab Moza seraya mengalihkan pandangan pada beberapa orang yang tengah bermain futsal di tengah lapangan indoor itu.

Theo hanya mengangguk-anggukan kepala kemudian menghembuskan napas berat.

"Mikirin masalah Rei lagi?" tanya Moza. Theo sudah memberitahunya perihal Zita dan Reinaldi. Namun, Moza tahu ada hal lain yang membuat Theo terlihat frustasi seperti sekarang, dan hal itu pasti berhubungan dengan kejadian yang menimpanya di masa lalu.

"Hmm," gumam Theo sebagai jawaban. Ia meletakkan kaleng kosong yang ada di tangannya ke dekat kaki, lalu mengambil kaleng utuh yang tersembunyi di sisi kanan tubuhnya.

Melihat itu, dengan cepat Moza merebut kaleng bir itu saat Theo menarik tuas pembuka. Theo seketika melotot saat Moza meneguk minumannya.

"Kalau lo mabok di sini, gimana?" Theo merebut kembali kaleng hijau itu dari tangan Moza.

Moza mendengkus sinis. "Sayangnya, toleransi alkohol gue cukup tinggi."

Jika bicara soal toleransi, Theo pun masih sanggup bertahan hingga kaleng bir ke lima. Itu pun belum bisa dikatakan mabuk karena ia hanya akan dapat efek merah di wajah. Menghabiskan empat kaleng bir tidak akan membuatnya tipsy apalagi wasted di kampus.

Namun, pernyataan Moza barusan membuat dahinya berkerut. "Gue nggak pernah lihat lo minum-minum sebelumnya." Theo to the point. "Dari mana lo tahu—"

"Gue pernah minum beberapa kali," sahut Moza. "Dulu."

Theo paham makna kata 'dulu' yang dimaksud. Ia mendengkus kasar, membuang rasa sesak yang tiba-tiba menyergap.

"I'm good," tutur Moza, semakin yakin dengan apa yang sedang Theo pikirkan sekarang. "Kali aja lo penasaran."

"Za, gue ...."

Moza menghela nafas. "Menetap di Jerman selama satu tahun udah cukup buat gue berdamai dengan keadaan. I have risen from the ashes. It's almost three years ago. Just think of what happened as rotten luck. So, don't worry, I'm fine now. Really fine."

...

Satu setengah tahun yang lalu.

Theo baru saja mematikan mesin mobilnya saat tiba di parkiran pemakaman umum untuk menemani Zita ke makam Rosi, mama Zita. Saat akan berniat menyusul Zita yang sudah turun lebih dulu, tiba-tiba netranya menangkap sosok gadis berkaos hitam yang dikenalnya melintas di depan mobil. Untuk sesaat ia ragu karena rambut panjang gadis itu kini dipangkas sependek bahu.

My True Me (END)Where stories live. Discover now