Tiga Puluh Enam

174 18 24
                                    

Saran sih, play medianya waktu Mila di kamar mandi aja, hehe

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Saran sih, play medianya waktu Mila di kamar mandi aja, hehe

...

Ridan memasuki rumah dengan senyum semringah sambil sesekali menatap tangannya. Bagaimana ia tak senang jika selama berjam-jam Moza tak sedikit pun melepas genggaman tangan mereka?

Ia senang bukan karena berhasil menggenggam tangan Moza, tapi senang karena akhirnya Moza mau sedikit membuka diri, meski nyatanya gadis itu masih bersikap defensif dengan memilih mengajaknya duduk di teras alih-alih duduk di sofa ruang tamu. Hal yang sebenarnya wajar jika mengingat apa yang sudah gadis itu alami. Moza pasti tak mau ambil resiko dengan melakukan skinship--walau hanya saling menggenggam tangan--di ruangan tertutup.

Tak ada obrolan berat. Mereka hanya duduk, menghabiskan waktu dengan memandang jalanan perumahan yang tak ramai lalu-lalang orang. Ridan memang mengatakan siap menjadi pendengar yang baik, tapi Moza lebih memilih diam seolah enggan membahas apa pun. Ridan tak memaksa. Ia paham, bukan perkara mudah membagikan cerita sensitif pada dirinya yang masih tergolong orang asing di kehidupan gadis itu.

Setidaknya, Ridan patut bersyukur karena kekhawatiran dan ketakutan Moza mulai sedikit berkurang. Itu terasa dari genggaman tangan Moza yang awalnya ragu-ragu dan terasa kaku, perlahan mengendur dan terasa lebih ringan tanpa beban.

Ridan berjalan masuk ke ruang tengah. Matanya melotot horor saat melihat kakaknya dan Zita sedang ... berciuman?

"Holy shit!" Umpatan Ridan membuat Adifa menoleh dengan alis berkerut, sedangkan gadis di hadapannya melempar tatapan datar ke arahnya. "What the hell are you doing?"

"Doing ... what?" Adifa tak mengerti.

"Kiss ...?" jawab Ridan, mendadak ragu setelah melihat respon sang kakak yang tampak tenang.

Zita mengambil bantal sofa, lalu melemparnya ke arah Ridan. "Bisa nggak, sekali aja nggak mikir yang aneh-aneh antara gue sama Dipa. Dia cuma bantuin niup mata gue karena kelilipan."

Ridan dengan sigap menangkap bantal yang dilemparkan padanya. Dahinya lantas berkerut mendengar panggilan tak asing gadis itu pada kakaknya. "Lo ... Mila?"

Gadis itu mendengkus. "Ya, it's me."

"Kampret!" Ridan melempar balik bantal sofa ke arah Mila.

Mila menepis bantal itu dengan mata melebar. "What the--"

"Gara-gara lo ngilang gitu aja, gue hampir dibunuh sama abang gue sendiri," tutur Ridan bersulut amarah.

Alis Mila bertaut, menoleh ke arah Adifa yang hanya mengangkat bahu tak acuh.

"Gue cuma ngomelin aja. Kan gara-gara dia kelamaan jemput lo, makanya lo ngilang," jelas Adifa.

"Apaan?" Ridan tak terima. "Ngomel tapi tatapannya kayak mau bunuh orang. Gue sampek mikir kalau sebenernya gue cuma adik pungut karena lo lebih peduli sama Mila."

My True Me (END)Where stories live. Discover now