Delapan Belas

609 95 226
                                    

Theo yang sedang duduk bersila kaki di bangku tribun, menengadahkan kepala menatap rangka besi yang menyangga atap

Oops! Questa immagine non segue le nostre linee guida sui contenuti. Per continuare la pubblicazione, provare a rimuoverlo o caricare un altro.

Theo yang sedang duduk bersila kaki di bangku tribun, menengadahkan kepala menatap rangka besi yang menyangga atap. Moza masih setia duduk di sebelahnya untuk mendenggarkan semua keluh kesah lelaki itu, termasuk aksi terus menyalahkan diri sendiri atas apa yang telah terjadi.

“Dulu, lo. Sekarang, Zita.” Theo mendengkus tawa sarkas. “Siapa yang sangka kalau Reinaldi sama aja bangsatnya.”

Moza tak langsung berkomentar. Ia memandang Theo untuk beberapa saat kemudian mengutarakan apa yang sejak beberapa saat lalu mengganggu  pikirkannya.

“Gue bukan berniat menuduh atau apa, tapi ....” Moza menjeda kalimatnya sejenak. “Lo lebih kenal Rei daripada gue. Walau gue nggak terlalu dekat sama Rei, gue rasa dia nggak seburuk itu. Melecehkan atau semacamnya ....” Moza menggeleng pelan. “Gue rasa, Rei nggak akan bertindak sejauh itu kecuali ... ada yang memengaruhi pikirannya.”

Memengaruhi? Theo menegakkan tubuhnya. Mengunci netra Moza dengan dahi berkerut dalam.

“Ini cuma deduksi, Yo,” jelas Moza. “Bisa jadi gue salah menilai Rei sampai berpikir kalau tindakannya itu dilakukan atas pengaruh orang lain. Mungkin ini memang sisi Rei yang nggak pernah kita tahu sebelumnya. Lo yang lebih tahu Rei orang yang seperti apa. Apa menurut lo, pemikiran gue ini salah?”

Theo menyugar rambut coklat terangnya dengan jari. Matanya mengerjap beberapa kali dengan raut berpikir. “Kayaknya gue harus tanya langsung sama Rei. Thanks udah mau nemenin gue di sini.”

Moza hanya mengangguk. Dahinya kemudian berkerut. Keragu-raguan tampak jelas di wajahnya.

Theo yang baru saja mengeluarkan ponsel untuk menghubungi Reinaldi lantas mengurungkan niatnya. Ia menatap bingung ke arah Moza. “Ada yang mau lo omongin, Za?”

“Ini soal Ridan.”

...

“Sendirian aja?” tanya Iddar yang tiba-tiba muncul ketika Zita sedang duduk seorang diri di salah satu meja kantin.

“Sama Kayla, tapi dia masih ke toilet,” jawab Zita yang kemudian celingukan mencari seseorang. “Lo sendiri sama siapa?”

“Seperti yang terlihat. Sendiri,” jawab Iddar seraya duduk di seberang meja Zita. “Theo ngilang dan Rei ....” Iddar mengangkat bahu. “Kalau ada dia, gue yakin lo pasti langsung kabur.”

“Sok tahu,” sahut Zita sewot.

Iddar mendecih. “Bego banget gue kalau sampai nggak sadar lo selama ini menghindar dari dia. Setiap ada Reinaldi, lo pasti buru-buru pergi.”

Zita hanya mengangkat bahu.

Iddar mendengkus melihat tanggapan acuh tak acuh Zita itu. “Gue tahu kalian sama-sama masih ada rasa. Nggak mau balikan aja?”

Zita tertawa. “Wah, seorang Iddar ngomongin soal perasaan dan nyuruh orang balikan? Lo sendiri gimana sama cewek-cewek lo?”

Giliran Iddar yang tergelak karena mendapat pertanyaan bernada sarkas itu. “Kalau gue kan beda. No feeling involved. Biar nggak ada drama galau-galauan kayak kalian.”

My True Me (END)Dove le storie prendono vita. Scoprilo ora