Her Past (5)

336 82 229
                                    

1530 kata yayy

Oups ! Cette image n'est pas conforme à nos directives de contenu. Afin de continuer la publication, veuillez la retirer ou télécharger une autre image.

1530 kata yayy....

...

“Termasuk nyawa lo?”

Pertanyaan Moza membuat Theo reflek mendongak, menatap wajah datar gadis yang duduk di hadapannya.

“Gue ....” Theo kesulitan menjawab.

Moza menyenggih, tersenyum hambar. “Jangan menawarkan sesuatu yang nggak sanggup lo berikan.”

Dua tangan Theo mengepal di atas paha. “Gue bakal buat Iddar minta maaf sama lo.”

Moza menggeleng pelan. Gelengan untuk dirinya sendiri. Tak akan ada gunanya meski Iddar berlutut memohon ampun di hadapannya. Apa yang sudah direnggut, tak bisa dikembalikan. Memori buruk yang terjadi, akan selalu terpatri di ingatan.

“Percuma. Nggak ada buktinya juga. Semua orang hanya akan mencari celah untuk balik menimpakan kesalahan ke gue. Gue yang sukarela masuk ke kosan Iddar. Gue yang menerima gitu aja minuman yang dia kasih. Gue bahkan ....”

Leher Moza terasa tercekik, kesulitan melanjutkan kalimatnya karena ingatan samar menjijikkan itu kembali melintas di otaknya. Gadis itu berdeham sejenak. Mengatur lagi suaranya yang terasa berat.

“Lo tahu apa yang paling bikin gue takut?” Moza menatap Theo yang memandangnya kuatir. “Dia bilang suka ke gue, dia mau menjadikan gue milik dia seutuhnya. Mungkin karena itu, dia melakukannya tanpa pakai protection.”

Tubuh Theo luruh. Dari posisi berlutut, kini ia jatuh terduduk di lantai. Tubuhnya terasa lemas. Kepalanya mendadak pening. Jantungnya terasa sakit, seolah sedang diremat kuat. Jika dirinya yang hanya mendengarkan saja sudah merasa sepedih itu, lalu bagaimana dengan Moza yang mengalaminya langsung?

Keheningan malam seketika menyergap. Lagi-lagi, tak ada yang saling bicara. Cukup lama, hingga Theo bersuara lebih dulu.

“Biar gue yang tanggung jawab.” Theo berucap dengan hati-hati. “Kalau lo hamil, biar gue yang tanggung jawab.”

“Kenapa harus lo?” Moza bersikap defensif, suaranya terdengar sinis.

“Ini semua terjadi karena gue. Lo ... ngalamin itu karena gue nyuruh lo pulang bareng dia.”

Mendengar itu, tangan Moza mengepal rapat. Rahangnya mengatup kuat menahan kemarahan yang sudah ia coba redam sejak tadi. “Gue belum tentu hamil. Kalau pun gue hamil, gue bisa gugurin ini.”

“Bayinya nggak--”

“Gue belum tentu hamil!” tegas Moza dengan suara keras. Matanya menyorot tajam ke arah Theo. Dadanya naik-turun menahan geram. “Dan ini bukan tanggung jawab lo.”

“Tapi ini sal--”

“Kalau mau salah-salahan, seharusnya gue yang disalahkan. Seharusnya dari awal gue nggak pernah ambil kelas karate. Karena dengan begitu, gue nggak akan kenal sama lo, gue nggak perlu kenal sama Iddar, dan semua ini nggak bakal terjadi!”

My True Me (END)Où les histoires vivent. Découvrez maintenant