Tiga Puluh Satu

438 70 172
                                    

“Kejadiannya, dua tahun yang lalu,” ucap Moza memulai kisahnya

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Kejadiannya, dua tahun yang lalu,” ucap Moza memulai kisahnya.

Ridan yang duduk di sebelahnya menyandarkan badan ke kaki sofa untuk mendengarkan.

“Gue pernah make out sama seseorang karena pengaruh obat.” Moza mengangkat bahu. “Mungkin obat perangsang. Gue gak tahu dan gak mau tahu. Yang jelas, gue nggak bisa bilang gue diperkosa karena gue melakukannya dalam keadaan sadar.”

Ridan melihat Moza mengambil kaleng soda, meneguk isinya, lantas menerawang menatap kaleng di tangannya.

“Sejak malam itu, gue benci sama tubuh gue sendiri. Gue jijik tiap bersentuhan sama orang lain. Gue was-was setiap berada di dekat orang-orang, kecuali nenek gue.” Moza menelan ludah, suaranya terdengar berat. “Sayangnya, tiga hari setelahnya, nenek yang selalu kelihatan sehat tiba-tiba meninggal karena serangan jantung.”

Ridan sadar Moza kesulitan menceritakan itu semua, tapi rasa penasaran membuat egonya meninggi. Ia ingin mendengar cerita Moza lebih banyak, tapi ia pun tak akan memaksa jika gadis itu memilih untuk berhenti.

“Seperti yang lo tahu, bokap gue orang Jerman,” lanjut Moza. “Karena mama anak tunggal, nenek nggak punya siapa-siapa lagi selain gue setelah mama meninggal. Dibanding harus ikut papa ke Jerman, gue memilih tetap tinggal di sini buat nemenin nenek. Gara-gara kejadian itu, ditambah perginya nenek yang tiba-tiba, apa gue masih punya alasan untuk tetap tinggal di sini?”

Moza menoleh sebentar ke arah Ridan, lalu kembali menatap ke arah depan.

“Awalnya gue mencoba terlihat baik-baik aja, tapi papa akhirnya tahu kalau anaknya nggak pernah baik-baik aja.” Moza tersenyum getir. “Tubuh gue bahkan menolak skinship sama papa gue sendiri, padahal itu cuma pelukan orang tua ke anaknya. Karena itu, papa minta gue ikut ke Jerman. Papa cuma mau gue berada di dekatnya untuk mantau kondisi gue.”

Moza menarik napas.

“Maggie--istri baru papa--adalah orang yang baik. Dia nemenin gue konsul dan terapi sampai akhirnya kondisi gue membaik. Tapi yang namanya rasa takut pasti akan terus ada kalau nggak dihadapi, kan? Jadi, gue ambil beberapa jenis kelas bela diri untuk ngelatih tubuh gue biar nggak over sensitif kalau harus kontak fisik sama orang lain. Bonusnya, gue jadi nggak ada waktu buat bengong yang bikin pikiran gue melayang ke mana-mana, dan gue jadi bisa langsung tidur tanpa harus minum obat karena udah terlanjur kecapekan.” Moza kembali menoleh pada Ridan. “Apa pertanyaan lo sudah terjawab?”

Ridan menggeleng. Satu pertanyaan sisanya belum terjawab. “Kenapa lo balik ke sini? Apa karena udah sembuh?”

“Nggak seratus persen, tapi tubuh gue mulai bisa bedain mana kondisi urgent yang harus melibatkan kontak fisik seperti nolongin orang atau urusan pertahanan diri, dan mana skinship yang bisa mengarah ke seksualitas walau itu cuma sekedar pegangan tangan.”

My True Me (END)Where stories live. Discover now