Empat Puluh Sembilan

161 7 16
                                    

1737 kata

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

1737 kata

Warning!!!
17+

Note : Aku jahat, wkwk

...

“Maaf ya, Kay,” sesal Zita sekeluarnya Kayla dari ruang UGD.

Lengan kanan gadis itu terbalut perban karena harus mendapat beberapa jahitan akibat luka panjang yang didapatnya saat melindungi Zita.

Kayla mendengkus. “Ih, nggak apa-apa. Lecet gini doang, nanti juga sembuh.”

“Kalau berbekas gimana?” Zita tahu bagaimana strict-nya Kayla saat ada bekas jerawat yang tak kunjung hilang dari wajahnya, apalagi sekarang mendapat luka panjang seperti itu.

“Tenang. Nanti gue ke Korsel buat operasi plastik biar mulus lagi,” gurau Kayla.

Moza yang berdiri di belakang Zita hanya geleng-geleng kepala. Ridan yang berdiri di sebelahnya tersenyum. Sedangkan Theo yang duduk di kursi tunggu sebelah mereka tak menunjukkan respon apa-apa.

Kaki Kayla menyenggol kaki Theo. “Lo kenapa, sih? Gue yang sakit, tapi lo yang keliatan depresi gitu.”

Tiga orang yang lain kini menoleh ke arah Theo.

“Cukup Zita aja yang merasa bersalah. Lo nggak usah ikut-ikutan pasang muka begitu,” sambung Kayla.

Theo merotasi matanya. “Ge-er banget. Liat lo masih bisa bercanda, rasanya sia-sia gue di sini.” Theo berdiri. “Gue tunggu di luar aja.”

Lelaki itu lantas keluar, meninggalkan teman-teman yang tengah menatap bingung ke arahnya.

“Dia kenapa, sih?” tanya Kayla.

Zita mengangkat bahu.

...

“Za, tolong ambilin kabel charger di laci, dong.” Ridan yang duduk di belakang kemudi menatap baterai ponselnya yang sudah berwarna merah.

Moza membuka laci dashboard di depannya, mencari kabel yang Ridan butuhkan, lalu menyerahkannya pada lelaki itu.

Thanks,” ucap Ridan, menerima kabel dan menghubungkannya ke car charger.

Moza mengangguk. Saat hendak menutup laci, sebuah kotak plastik transparan mencuri perhatiannya. Ia mengambil kotak itu. Dari luar, ia bisa melihat isi di dalam kotak, yaitu beberapa potong kain flanel dan benang jahit.

“Ini punya lo?”

Ridan yang hendak menyalakan mobil kontan menoleh. “Eh!” Buru-buru ia merebut kotak itu dari Moza. “Jangan dilihat.”

Moza mengangkat alis.

Ridan tersenyum kikuk. “Niatnya gue mau bikinin sesuatu buat lo. Kayak boneka kambing yang dibuat si Sableng, tapi ternyata gue nggak bakat sama dunia per-handmade-an. Jadi, mending gue beli aja.”

My True Me (END)Where stories live. Discover now