Enam Puluh Tiga

155 9 17
                                    

Melewati pintu kedatangan, Iddar menggandeng tangan Zivana keluar bandara

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Melewati pintu kedatangan, Iddar menggandeng tangan Zivana keluar bandara. Di pelataran, matanya mengedar mencari keberadaan Baskara ataupun Bastian yang katanya akan menjemput mereka. Namun, pandangannya justru jatuh pada seorang pria yang berada tak jauh dari tempatnya berdiri, tengah menatapnya sambil menganggukkan kepala sebagai bentuk salam.

Iddar lantas menoleh ke belakang, memanggil Mathias--salah satu bawahan yang ikut bersamanya ke Lombok--untuk mendekat, sebelum kemudian menoleh pada Zivana.

“Lo tunggu Kak Baskara sama Mathias aja, ya,” ucap Iddar pada Zivana saat Mathias sudah berada tepat di belakangnya.

Zivana menoleh. “Kenapa?”

“Gue ada urusan sebentar.” Iddar tersenyum, mengecup singkat pipinya sebelum beranjak menghampiri pria tadi.

Zivana menatap punggung Iddar yang berjalan menjauh lalu menghilang ke dalam sebuah mobil dengan seorang pria yang tak ia kenal.

“Lo tahu siapa orang itu?” tanya Zivana.

“Kayaknya salah satu bawahannya orang atas,” jawab Mathias.

Dahi Zivana berkerut. “Ada urusan apa? Ada masalah sama distribusinya Heidi?”

Mathias menggeleng. “Saya juga kurang tahu. Tapi, beberapa hari terakhir, Mas Evan sama Mas Baskara memang kelihatan sedang ngurus sesuatu.”

“Ngurus a--”

Belum sempat pertanyaannya terucap, Bastian yang baru saja datang lebih dulu menyelanya.

“Udah lama? Evan mana?”

Zivana menatapnya. Tanpa basa-basi, langsung mengalihkan pertanyaannya pada lelaki itu. “Ada urusan apa orang atas nemuin Evan?”

Bastian terdiam sejenak. Menatap ke sekeliling, sebelum kembali menatap Zivana. “Di sini nggak aman. Gue jelasin di mobil aja.”

...

Di tepi tempat tidurnya, Moza duduk sambil menatap ponselnya. Jarinya mengetik sesuatu di ruang pesannya, lalu mengirimnya pada seseorang. Bersamaan dengan itu, pintu kamarnya diketuk, kemudian terayun terbuka.

“Sudah siap?” tanya Ludwig.

Moza mengangguk, berdiri, menghampiri koper yang sudah ia siapkan di dekat kaki ranjang, lalu menyeretnya ke luar.

“Papa nggak mau berangkat bareng kami?” tanya Moza saat tiba di ruang tamu, melihat Maggie bersama Karl dan Odet sudah menunggunya.

“Mumpung masih di sini, papa mau sekalian ngurus penjualan rumah ini,” jawab Ludwig. “Besok atau lusa, papa nyusul.”

“Kenapa harus dijual?” tanya Moza. “Siapa tahu kedepannya Papa--”

“Kita sudah pernah membicarakan ini,” potong Ludwig. Nada suaranya terdengar tegas.

My True Me (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang