Lima Puluh Enam

176 9 13
                                    

Lambat update karena lagi syibuq di real life, plus nulis part ini kudu buka bab-bab lama (yg aku lupa babnya bab berapa aja, wkwk) buat nyinkronkan alur karena takut menyimpang dan gak sesuai sama alur yang udah ada

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Lambat update karena lagi syibuq di real life, plus nulis part ini kudu buka bab-bab lama (yg aku lupa babnya bab berapa aja, wkwk) buat nyinkronkan alur karena takut menyimpang dan gak sesuai sama alur yang udah ada.

...

“Mama ada jadwal praktek, kamu nggak apa-apa ditinggal?” tanya Siska.

“Iya. Kan ada Zita. Mama pergi aja.” Theo yang berada di atas brankar dalam posisi duduk menjawab dengan santai.

Siska menatapnya, perasaan ragu menghinggapinya. Malam kemarin, ia mendengar Theo berniat pergi, sesaat setelah membuka mata dari komanya, membuatnya mempertanyakan apa yang anaknya pikirkan hingga bertindak impulsif seperti itu.

Sayangnya, saat ditanyakan, Theo memilih tak menjawab dengan alasan dirinya tak mengingat apa pun, termasuk tentang siapa yang telah membuatnya terluka, seolah sedang menyembunyikan sesuatu.

“Kamu tetap di sini sampai mama kembali.” Siska memperingatkan.

Theo mendecak. “Aku lagi sakit, Ma. Emang mau ke mana, sih? Badan aja masih lemes.” Ia menoleh pada Zita yang duduk di sofa, lalu menunjuknya dengan dagu. “Tuh, ada Zita juga. Kalau aku ada niatan kabur, dia juga pasti nyegah aku.”

Siska menghela napas. Hanya bisa percaya kata-kata sang putra. Ia lantas menoleh pada Zita. “Kita sama-sama tahu, Theo mendadak manja kalau lagi sakit. Jadi, jangan turuti kalau dia minta macem-macem.”

Zita mengangguk, sedangkan Theo memutar mata malas.

Siska mengambil tas jinjingnya, diikuti oleh mata Theo yang terus memperhatikannya hingga wanita itu keluar dari kamar rawatnya. Begitu sosoknya menghilang di balik pintu yang tertutup, Theo langsung menyingkap selimutnya, mendesis saat jarum infus ditarik lepas dari tangannya, lalu buru-buru turun dari ranjang rawatnya.

Zita yang melihatnya seketika melotot. “Lo mau ngapain?”

Gadis itu segera menghampiri Theo yang kini berjongkok di depan lemari kecil tempat pakaian bersihnya disimpan.

“Lo masih sakit!” Zita mencoba menahan tangan Theo, menarik lelaki itu untuk kembali ke tempat tidurnya. “Balik ke tempat tidur, biar gue panggil dok--”

Theo balas menarik tangan Zita, membuat gadis yang berniat pergi itu turut berjongkok di sebelahnya. Matanya menatap lurus, mengunci netra Zita. “Di sini nggak aman. Lo harus ikut sama gue.”

Zita mengerutkan dahi tak mengerti. “Nggak aman gimana? Justru lo yang nggak aman kalau pergi dalam keadaan kayak gini.”

Please, Ta.” Theo berucap dengan nada menuntut. “Gue ngelakuin ini demi keselamatan lo. Gue bakal jelasin nanti, tapi kita pergi dulu dari sini sebelum orang lain datang.”

Zita menggeleng tegas, memaksa Theo mengubah ide gilanya. “Lo belum sembuh!”

I’m fine!” tegas Theo, satu tangannya menangkup pipi Zita. “Please, gue sayang sama lo dan nggak mau lo kenapa-napa. Jadi, ikut gue pergi dari sini sekarang.”

My True Me (END)Where stories live. Discover now