Lima Puluh Tujuh

179 9 21
                                    

Di dalam kapal, Zita duduk di atas sleep seater-nya, mengedarkan mata ke sekeliling, melihat beberapa penumpang lain dengan tujuan yang sama tengah berada di tempatnya masing-masing

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.


Di dalam kapal, Zita duduk di atas sleep seater-nya, mengedarkan mata ke sekeliling, melihat beberapa penumpang lain dengan tujuan yang sama tengah berada di tempatnya masing-masing. Theo bilang mereka akan ke Lombok dan sesuai uang tunai yang mereka punya, jalur laut adalah satu-satunya pilihan yang bisa mereka ambil karena Andri sudah lebih dulu memblokir ATM keduanya dengan maksud agar mereka tak bisa pergi jauh.

Zita menoleh pada Theo yang kini berbaring di sebelahnya. Mata sepupunya itu terpejam dengan bulir keringat yang membasahi wajah dan lehernya.

“Yo, lo nggak apa-apa?”

“Hm.”

Meski mendapat sahutan, rasa cemas Zita tak sedikit pun berkurang. Kondisi lelaki itu jelas belum benar-benar pulih saat menyeretnya kabur dari rumah sakit, ditambah lagi mereka baru saja melakukan perjalanan panjang dengan bus dan masih akan terombang-ambing di lautan selama dua puluh jam ke depan.

Zita mengambil jatah nasi kotak--yang dibagikan crew kapal beberapa saat lalu--dari atas meja. “Yo, makan dulu, yuk. Abis itu minum obat.”

Perlahan lelaki itu membuka mata. Tubuhnya beringsut duduk. Zita lantas memberikan satu nasi kotak di tangannya pada Theo.

Thanks,” ucap Theo. Saat ia membuka penutup nasinya, ia melihat Zita hanya diam, tak menyentuh jatah makannya. “Lo nggak makan?”

“Gue belum lapar.”

“Makan. Kalau lo nyuruh gue makan, seharusnya lo juga makan,” ucap Theo dengan nada tak bisa dibantah.

Zita mengembuskan napas. Tangannya membuka nasi kotak miliknya. “Gue nggak ngerti, sebenernya sekarang kita lagi ngapain? Kita kabur sejauh ini dari siapa?” Zita meletakkan kembali sendok yang baru dipegangnya sambil menatap wajah Theo yang terlihat semakin pucat. “Mau dilihat kayak gimanapun, lo masih sakit. Lo seharusnya dirawat di rumah sakit, bukan malah ada di tempat ini.”

Theo ikut meletakkan sendok makannya, menghunuskan tatapan tajam padanya. “Please. Lo bisa berhenti nanyain ini?”

Zita memandangnya tak suka. “I need to know.”

Theo menatap mata hazel Zita lalu menunduk, menatap makanannya. “Nanti. Seenggaknya setelah kita sampai. Gue nggak mau ambil resiko tiba-tiba lo dapat serangan panik apalagi switching saat kita lagi di sini.”

...

Rita--dengan sneli yang melekat di tubuhnya--berkacak pinggang, bibirnya sedikit terbuka karena tak menyangka dengan kejutan yang didapatnya.

Beberapa menit lalu, resepsionis rumah sakit tempatnya bekerja tiba-tiba meneleponnya dan mengatakan jika ada dua orang yang mencarinya. Begitu ia temui, ternyata dua orang yang dimaksud adalah adik dan sepupunya.

“Hai, Kak.” Theo menyapanya dengan senyum kaku.

Rita mendongakkan kepalanya, sejenak ia menatap plafon lobi seraya mengembuskan napas berat, lalu berjalan menghampiri Theo dan melayangkan pukulan ke bahu sang adik hingga empunya mengaduh kesakitan.

My True Me (END)Where stories live. Discover now