Sirius : 11. Chemotherapy

7.9K 1.3K 408
                                    

Dia masih mengantuk. Tapi ketika tangannya tak mendapatkan sosok yang ia cari ada di sampingnya, mata itu terbuka dengan terpaksa. Ia edarkan pandangan ke seluruh ruangan. Hanya ada sosok Jisoo yang ia dapat di ruangan itu sedang membaca sebuah buku.

"Unnie, dimana Lisa?" Pagi ini, dia harus murung karena tak mendapati Siriusnya disana.

Padahal Chaeyoung sudah bilang pada Lisa untuk tak pergi kemana pun. Hidupnya yang berat ini, ia tak bisa menjalaninya tanpa Lisa. Anak itu harus ada, agar Chaeyoung tidak merasa takut.

"Eomma membawanya pulang. Tidak baik untuk Lisa berlama-lama di rumah sakit." Mendengar jawaban Jisoo, Chaeyoung merapatkan bibirnya.

Ia lupa akan hal itu. Adiknya memang memiliki fisik yang lemah. Jika saja kelehahan, pasti kondisi sang adik akan langsung menurun. Chaeyoung sama sekali tidak berpikir sejauh itu.

"Masih ada Unnie disini. Lisa juga akan kembali bersama Jennie nanti sore." Jisoo mengusap kepala Chaeyoung.

Untuk sosok Jennie, sampai saat ini dia belum berbicara langsung dengan kakak keduanya itu. Jennie memang sempat ke rumah sakit. Tapi gadis berpipi mandu itu hanya diam dan tak mengeluarkan sepatah kata pun untuk Chaeyoung.

Ia pikir, mungkin Jennie masih marah padanya. Walaupun dia tahu Jennie juga menangisi keadaannya. Padahal yang paling Chaeyoung inginkan adalah Jennie memaafkan dirinya.

"Kenapa selama ini hanya diam?" Kedua mata Chaeyoung mengerjab. Ia tatap Jisoo yang kini tampak sedih.

Chaeyoung tahu apa maksud dari ucapan kakaknya. Tapi dia tak mungkin menjawab dengan jelas, bahwa hal itu dia lakukan agar tak ada yang menghalanginya meraih impian.

Andai saja Lisa tak memberitahu keluarganya kemarin, mungkin semuanya masih berjalan normal. Chaeyoung masih berangkat ke sekolah, mencari nilai terbaik dan ilmu sebanyak mungkin.

Tapi berkat Lisa, Chaeyoung juga menyadari suatu hal. Dia tak mau mati cepat. Walau sedikit terlambat, dia masih mau berjuang. Setidaknya, ini bisa membuatnya bertahan hidup lebih lama.

"Pasti kau merasa sakit yang teramat. Maafkan Unnie yang tidak pernah memperdulikanmu." Jisoo mulai terisak. Tangannya bahkan menggenggam erat Chaeyoung.

"Unnie---"

"Chaeyoung pasti bisa sembuh. Chaeyoung kuat. Mulai sekarang, Unnie akan terus berada di sisimu. Unnie tidak akan meninggalkan Chaeyoung. Jadi kau harus berjuang, hm?" Jisoo mengusap kasar air matanya. Berusaha memperlihatkan senyuman walau sangat tipis dan sebentar.

"Hm. Aku akan berjuang, sampai lelah."

Tidak. Jisoo menggeleng pelan. Ia tak mau Chaeyoung menyudahi perjuangannya walau merasa lelah. Dia mau adiknya itu terus berjuang apa pun yang terjadi. Tapi karena seseorang datang, Jisoo kembali menelan kalimatnya.

"Selamat pagi. Hari ini adalah jadwal kemoterapi pertamamu, Nona." Mendengar ujaran dari seorang dokter bernama Kim Yuri itu membuat Chaeyoung terkaku.

Tak ada sama sekali pemberitahuan dari keluarganya mengenai ini. Chaeyoung pikir pengobatannya belum akan dimulai. Tapi ternyata sang ayah tak mau membuang waktu.

"Aku akan memeriksa kondisimu. Setelah sarapan nanti, aku akan kembali menjemputmu untuk ke ruang kemoterapi."

Chaeyoung menoleh pada Jisoo dengan mata bergetar. Jujur saja, ia takut. Karena Chaeyoung tahu bagaimana efeknya. Chaeyoung tahu bagaimana rasa sakitnya. Dia hanya tak tahu apakah bisa menahannya atau tidak.

"Tidak apa. Unnie akan menemanimu." Genggaman hangat itu, adalah satu-satunya kekuatan Chaeyoung sekarang.

...........

SiriusWhere stories live. Discover now