Sirius : 20. Behind The Glass

6.4K 1.1K 164
                                    

Suasana ramai menyelimuti Cafeterian itu sakit itu pagi ini. Banyak manusia berbondong-bondong mencari sarapan untuk perut kosong mereka.

Jisoo dan ibunya sedang menunggu pesanan mereka untuk dibungkus karena berniat melakukan sarapan di ruang perawatan Lisa.

Melihat orang berlalu lalang, Jisoo hanya diam memandangi kesibukan mereka. Karena sebenarnya, pikiran gadis itu sedang tidak bersama jiwanya.

Ia bertanya-tanya mengenai Chaeyoung. Apa adiknya itu tidak sadar jika semua orang pergi? Karena tak ada pesan sama sekali dari Chaeyoung yang masuk.

Seharusnya Chaeyoung mempertanyakan kemana mereka kan? Apa gadis itu belum terbangun dari tidurnya? Tapi Chaeyoung selalu bangun lebih awal dari pada yang lain.

"Jisoo-ya, ayo."

Jisoo mendongak. Suara ibunya membuyarkan semua lamunan Jisoo. Dia yang hendak menghubungi Chaeyoung mengurungkan niatnya. Lebih baik ia segera pulang setelah sarapan nanti untuk memastikan.

"Sayang, keningmu kenapa?

Jisoo menyentuh keningnya, terasa perih disana. Sekejab, dia baru saja ingat jika kemarin sempat terkena lemparan bingkai dari Lisa.

"Nak, ini lukanya besar sekali." Sora mendadak panik. Sebelumnya ia tak memperhatikan kening itu karena tertutupi poni tipis Jisoo. Tapi saat tadi ketika ia memperhatikan dengan detail wajah anaknya, samar terlihat ada luka dibalik rambut hitam Jisoo.

"Ikut, Eomma. Kita harus memeriksanya."

Tidak mengatakan apa pun, Jisoo hanya pasrah ketika sang ibu menarik tangannya. Melewati lorong-lorong yang pagi ini mulai padat.

Sora membawanya ke IGD. Jisoo segera diperiksa, dan ia mendapatkan empat jahitan atas lukanya. Tapi yang aneh, anak itu tidak bereaksi apa pun ketika Dokter menjahit lukanya.

Mata itu, hanya menatap sesuatu dengan tatapan kosong. Sesuatu yang cukup menguras isi kepalanya saat ini. Berakhir dengan memberikan rasa nyeri di hatinya yang semula baik-baik saja.

"Kasihan." Lirihan itu mampu di tangkap sang Dokter yang baru selesai menempelkan plester untuk menutup jahitan di dahinya.

"Umurnya baru 17 tahun. Dia mengidap kanker otak stadium akhir." Mendengar penjelasan sang dokter, kedua mata Jisoo mendadak perih.

Kanker otak? Apakah adiknya akan berakhir seperti itu? Disiksa oleh berbagai macam alat, sedangkan ia tak bisa apa-apa selain terus mengejang hebat tanpa kesadaran sedikit pun.

"Dokter," panggil Jisoo dengan suara yang tiba-tiba menjadi serak.

Ketika melihat dokter wanita itu menatapnya penuh tanya, mendadak Jisoo sulit sekali untuk menarik napasnya sendiri.

"Apakah... Kanker otak bisa disembuhkan?" Pertanyaan yang sedang memenuhi kepalanya itu keluar dengan bebas. Berusaha meraih jawaban yang sesuai dengan keinginan Jisoo.

Tersenyum lebih dulu, Dokter itu memilih memutus pandangannya pada Jisoo.
"Keajaiban yang mustahil."

Beberapa detik berikutnya, mereka mendengar sebuah suara mesin yang berisik. Sungguh nyaring hingga sampai pada telinga Jisoo.

Ia kembali melihat pada sosok pasien yang semula sedang ditangai di seberang ranjangnya. Kejang itu sudah berhenti, juga napas dan detak jantungnya.

"Cho Mira, 22 Oktober..."

Jisoo tidak ingin mendengar kalimat selanjutnya yang dilontarkan oleh seorang dokter. Ia turun dari ranjangnya dengan tergesa. Berlari keluar dati IGD, hingga membuat Sora yang menunggu di kursi tunggu terpaksa mengejar anak sulungnya itu.

SiriusWhere stories live. Discover now