Sirius : 12. Alone

7.9K 1.4K 374
                                    

Awalnya semua baik-baik saja. Lisa masih sibuk dengan berbagai mainannya. Ia tak terganggu oleh apa pun. Ia juga tak takut jika sedang sedirian.

Tapi seketika sebuah mainan yang ia genggam terjatuh, tatkala rasa tak nyaman mulai melingkupi dada kirinya. Disana, jantungnya terasa sakit saat berdetak.

"A-Auh! Pisaunya dimana? Kenapa tidak terlihat? Lisa mau mencabutnya." Gadis itu meracau sembari meremas baju bagian dada kirinya.

"Unnie, sakit. Tolong cabut pisaunya." Lisa menangis. Menatap pintu kamar yang masih tertutup rapat. Disana sama sekali tak menandakan bahwa akan ada orang yang datang.

Menelan salivanya susah payah, Lisa hendak bangkit dari duduknya. Ia ingin keluar dan mencari ibunya. Tapi suara petir yang menggelegar membuat ia terkejut dan kembali duduk meringkuk.

"A-Aniya. L-Langit jangan marah-marah. Lisa takut." Ia menutup kedua telinganya erat.

Tubuhnya bergetar ketakutan. Keringat dingin sudah membasahi kening. Napasnya bahkan memburu, beradu dengan rasa takut dan rasa sakit yang melingkupinya.

Jdar!

Lisa menutup matanya. Ia takut petir. Suaranya sangat menyeramkan dan selalu membuat dadanya sakit. Jika biasanya ada yang memeluk gadis itu dan menenangkannya, tapi kali ini tidak. Ia sendirian.

"E-Eomma. L-Li-sa ta-kut."

Lisa membuka matanya yang tampak memerah. Tubuhnya meluruh hingga terbaring di atas lantai. Napas itu sudah terbata. Lisa kesulitan untuk meraih napasnya sendiri.

"E-Eomma," lirih Lisa ketika seluruh tubuhnya terasa kebas. Ia butuh ibunya, ia butuh kakaknya untuk menolong dari rasa sakit itu.

"L-Lisa tidak bisa ber-na-pas." Dia bergumam. Matanya menatap lirih pada pintu kamar sekali lagi. Berharap akan ada seseorang yang datang dan mengenyahkan rasa sakitnya.

Satu menit, lima menit, sampai sepuluh menit Lisa tak menjumpai seorang pun. Bahkan sampai akhir, ketika ia sudah tak sanggup. Ketika rasa kantuk itu menyergapnya secara mendadak. Merebut hembusan napas dan detak jantungnya.

Gadis malang yang sendirian itu, memejamkan matanya pelan. Tak lagi ketakutan karena suara petir, karena ia sudah melayang. Pergi ke sebuah tempat yang sunyi dan gelap.

..........

Di luar hujan deras. Tapi tak membuat ketiga manusia itu mengalihkan perhatian dari Chaeyoung yang baru saja memejamkan mata setelah bertarung melawan rasa sakitnya akibat kemoterapi.

Sora bahkan tak berhenti untuk mengusap kepala Chaeyoung. Sesekali mengusap keringat sang anak yang menandakan betapa kerasnya ia berjuang tadi.

Jisoo yang berdiri di dekat ujung ranjang Chaeyoung seketika tersentak saat ponselnya bergetar di saku celana. Ia pun segera mengangkat panggilan yang berasal dari adiknya itu.

"Eoh, Jennie-ya." Jisoo memilih duduk di sofa ruangan itu. Memijat pelipisnya yang terasa pening.

"Aku tidak bisa menghubungi Eomma. Kau tahu dimana dia?" Dari suaranya, Jennie terdengar khawatir.

"Eomma ada disini sedari pagi. Apa ia tak pamit padamu---"

"For god sake, Unnie! Dia memaksaku pergi ke sekolah dan meninggalkan Lisa sendiri di rumah! Dia bilang akan pulang!" Bentakan dari Jennie itu membuat darah Jisoo seakan mendidih.

Tidak. Ia tak marah pada sang adik karena membentaknya. Ia terkejut dan kesal karena sang ibu tak bilang bahwa Lisa sendirian di rumah. Terlebih saat ini sedang hujan, dan Lisa tak bisa mendengar petir yang menggelegar.

SiriusTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang