Sirius : 43. Together

3.5K 820 163
                                    

Jisoo tidak pernah berhenti untuk menyalahkan dirinya sendiri. Ia merasa telah memperburuk kekalutan keluarganya dengan lalai dalam menjaga Lisa.

Perasaan itu semakin menjadi ketika keluarganya justru tak menyalahkannya atas hilangnya Lisa. Padahal seharusnya ia dimarahi atas kesalahan itu.

"Unnie, menurutmu apa mereka berada di tempat yang sama?" Pertanyaan lirih dari Jennie yang ada di sampingnya itu membuat perasaan Jisoo semakin tak karuan.

Ia sungguh berharap kedua adiknya sedang bersama sekarang. Jika tidak, entah bagaimana ketakutannya kedua adik Jisoo itu di luar sana sendirian.

"Jennie-ya, kenapa kau tak marah pada Unnie?" Karena tidak tahu jawaban apa yang harus ia lontarkan untuk pertanyaan Jennie, ia lebih baik mengutarakan rasa penasarannya.

"Kemarahan tidak membuat kita menemukan Lisa. Lagipula..." Jennie kemudian memandang dalam pada wajah kakaknya.

"Aku tahu betapa Unnie menyayangi Lisa. Unnie hanya tidak sengaja melakukan itu."

Jujur saja, Jennie sangat tertekan dengan hilangnya Lisa. Ia pikir, anak itu akan menjadi obatnya sejenak karena keresahannya mengenai Chaeyoung. Tapi justru, anak itu ikut hilang dan membuat Jennie semakin ketakutan.

"Kenapa semua hal tidak bisa berjalan sesuai dengan rencana kita." Jisoo menunduk, entah sudah berapa banyak air mata yang ia keluarkan hari ini untuk kedua adiknya.

Ia pikir, dengan di awali permintaan maaf ibunya pada Lisa semua akan baik-baik saja kedepannya. Lisa bisa menjalani pengobatannya, begitu pula Chaeyoung. Serta impian Jisoo yang ingin melihat keluarganya kembali hangat seperti dulu.

"Sekarang pun, aku takut untuk berharap." Jennie menimpali.

Ia yang juga memiliki keinginan seperti itu, sekarang tidak berharap banyak. Ia hanya bisa berdoa jika kedua adiknya bisa ditemukan dalam keadaan selamat.

"Mereka pasti kedinginan, Jennie-ya. Mereka pasti kesakitan." Jisoo semakin terisak. Menutup wajahnya yang sudah dibanjiri oleh air mata.

Ia tidak tahu harus melakukan apa. Tapi dengan hanya duduk diam disitu, Jisoo merasa benar-benar tidak berguna. Ia ingin adiknya. Ia ingin memeluk mereka.

"Saat mereka ditemukan nanti, aku ingin kita lebih bahagia. Aku ingin kita menjadi semakin hangat. Bisakah, Unnie?" Jennie tahu jika Jisoo tak akan menjawab pertanyaannya. Tapi ia sungguh berharap jika Tuhan mendengar keinginannya. Ia berharap, kedua adiknya terlindungi dari rasa sakit hingga mereka ditemukan.

..........

"Malam ini, aku akan membunuh semuanya. Aku akan membuat Haneul sama menderitanya dengan hidupku."

Suara itu. Tawa itu. Ia sungguh gemetar mendengarnya. Dari balik sebuah pohon di dekat pintu gudang, ia menggenggam erat ponselnya.

Perasaannya sungguh ragu. Tapi otaknya memerintahkan dirinya untuk menguhubungi seseorang. Padahal sebenarnya, ia bahkan tak pernah menghubungi nomor itu cukup lama. Karena tentu menurutnya tak perlu karena mereka sering bertemu di rumah.

Tangannya sudah berkeringat dingin, ketika gelisah menunggu seseorang di seberang sana menerima panggilannya. Cukup lama ia menunggu.

"Jebal. Jebal." Gumamnya dengan perasaan takut bukan main.

Sampai di percobaan ke tiga, lelaki itu mendesah lega karena panggilannya di terima. Jika saja ia tak sedang bersembunyi sekarang, mungkin ia sudah memekik senang.

"N-Noona. Aku Jaehwan." Anak kedua Hongseok itu merutuki dirinya. Tentu saja Seulgi tahu bahwa ia adalah Jaehwan. Karena tak mungkin Seulgi tidak menyimpan nomornya.

SiriusWhere stories live. Discover now