Sirius : 16. Drawing a Rose

6.4K 1.3K 366
                                    

Kemarahan yang terluapkan selalu menimbulkan hal tidak baik. Karena sulit mengendalikan diri, terkadang ada saja yang tanpa sadar dirugikan.

Kemarahan itu sebenarnya hal wajar. Tapi jika terlalu besar, dampaknya sangat buruk. Untuk si pemilik, juga orang sekitar.

Barang-barang mahal yang semula tertata rapih di rumah itu kini sudah terpecah belah di lantai. Semua tak berani mendekat ketika Tuan besar rumah itu mengamuk. Menghancurkan seluruh barang yang ia temui.

"Kang Haneul brengsek!"

Hongseok sungguh marah, sampai rasanya ingin menghancurkan semua hal yang ia lihat. Karena sang adik, dengan tega melaporkan perusahaannya atas penggelapan dana pada pihak kepolisian.

Dia merasa begitu jatuh sekarang. Jika saja Haneul sudah menyerahkan buktu pada kepolisian, hanya menghitung detik kejayaan Hongseok akan musnah seperti debu tertiup angin.

Ia mengakui, bahwa saat bekerja sama dengan Haneul memang ada beberapa kelicikan yang terjadi. Tapi ia tak menyangka, bahwa sang adik tega melaporkannya.

"A-Appa."

Bagai tertimpa batu yang amat besar, Seulgi menyesal karena telah memanggil sang ayah tanpa sadar. Ia hanya terkejut melihat Hongseok saat ini.

Ketika mata itu menatapnya dengan tajam, Seulgi ingin sekali berlari menjauh. Tapi kakinya begitu kaku, sampai ketika Hongsoek menghampirinya. Menjambak, lalu menghembaskan tubuhnya sampai membentur dinding.

"Awh!"

Seulgi hanya bisa mengeluarkan ringisan samar. Ia tak mampu berkata apa pun lagi tatkala sang ayah kembali menjambak rambutnya.

"Aku tidak melarangmu untuk melukai Jisoo. Tapi kenapa permainanmu begitu buruk? Seharusnya kau tak membiarkan anak itu mengadu pada Haneul!" Kedua mata Seulgi memejam ketika Hongseok membentaknya.

"Aku membiarkanmu lahir, bukan untuk menjadi anak tak berguna! Aku membesarkanmu untuk membuat jalanku hidupku menjadi lebih baik!" Air mata mulai membasahi wajah Seulgi saat kepalanya terpaksa mendongak karena jambakan sang ayah semakin kuat.

Ingin sekali Seulgi menghilang dari dunia sekarang juga. Ia tidak tahan menjadi anak dari seorang Kang Hongseok.

"Seharusnya aku membiarkanmu mati. Seharusnya aku tak membiarkanmu hidup, jika akhirnya akan begini." Hongseok melepaskan jambakan pada rambut anak sulungnya lalu bangkit berdiri.

"Tidak. Aku tidak mau miskin." Hongseok kini bergumam dengan ketakutan.

Tangannya yang gemetaran meraih ponsel dan mendial nomor seseorang. Berkali-kali ia menggigit jemarinya karena begitu gusar.

Sampai akhirnya panggilan itu diterima. Suara berat sang ayah menyapanya.
"Ada apa, Nak?"

"A-Appa. Tolong bantu aku. Anak bodoh itu melaporkanku ke polisi. Aku tak mau dipenjara. Aku tak mau jatuh miskin, Appa." sosok Hongsoek yang semula menyeramkan, kini mendadak hilang begitu saja ketika ia merengek pada sang ayah.

Ia pikir, Kang Jaegun mampu membuat Haneul mencabut tuntutannya. Apa pun akan ia lakukan untuk tak hidup miskin.

"Appa akan memanggil adikmu kesini. Kau juga, hm? Bawa serta anak dan istrimu. Appa rindu dengan mereka."

Panggilan itu amat singkat. Tapi ketika Hongseok menurunkan ponselnya, ia tersenyum sinis. Ayahnya pasti akan membuat Haneul tak berkutik nanti. Rasanya sudah tak sabar melihat bagaimana Jaegun memarahi Haneul.

Menatap Seulgi, Hongsoek kembali berjongkok lalu mencengkram rahang sang anak dengan kuat.

"Pergi untuk bersiap. Jangan sampai ayahku melihat penampilan menyedihkanmu ini. Dan ingat, jangan mengadu." Setelah mengatakan itu, Hongseok pergi meninggalkan anaknya yang tampak sangat malang.

SiriusTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang