Chapter 18 ~ 𝐇𝐨𝐰 𝐓𝐡𝐚𝐭 𝐁𝐨𝐲 𝐅𝐥𝐢𝐫𝐭

499 67 18
                                    

Aku bergegas pergi ke kamar,membiarkan Ice terpaku sambil menatap sandalnya. Itu namanya azab.

Brak.

Pintu kamar terbanting,dan aku menginjak lantai dengan keras supaya aktingku meyakinkan.

Aku sudah masuk kategori aktor terhebat,kan?

Tak mau membuang waktu,aku kembali mengerjakan buku ku di laptop. Setidaknya tidak ada gangguan lagi. Haha.

Tapi sayang sekali ketenangan itu tidak bertahan lama. Pintu terketuk,dan aku berharap momen me time yang jarang aku dapatkan ini bisa lebih lama berlangsung.

"Apa." Kataku ketus,meski sebenarnya menahan tawa.

1 menit,tak ada jawaban yang aku mau. Aku mulai was was,bagaimanapun,aku tidak mau kalau Ice sampai sedih. Aku hanya ingin bergurau sedikit.

Aku berbalik dengan kursi putar ku,menatap pintu coklat tua yang melapisi kayu jati. Semakin penasaran,akhirnya aku menyeret kursi dengan kakiku,langsung menempelkan telinga di pintu.

Deru napas Ice terdengar samar,tapi aku ragu Ice akan melamun di depan pintu,jadi yang ku lakukan hanya tetap menunggu Ice membuka mulutnya,dan mengeluarkan suara.

Setelah aku tulis ulang,rasa rasanya aku keterlaluan ya? Atau aku yang selama ini terlalu lembek? Entahlah,aku tidak tau. Yang jelas,aku merasa bersalah sekarang.

"Blaze..." Satu kata keluar,dan itu menandakan dia menyesal. Aku pasangannya,sekaligus Adiknya,dan aku tau perangainya. Tapi,biarkan aku bermain sebentar. Sebentar lagi saja.

"Tidak,terimakasih." Aku kembali menyeret kursi ku ke depan laptop,sekadar untuk melihat jam.

09 P.M.

Hampir jam 10 malam,waktu tidur buat kami berdua. Perasaan was was kembali menghantuiku. Aku bingung dalam permainanku sendiri. Mau bertahan atau menghentikan semua ini.

Kejam namanya jika aku membiarkannya tidur di sofa ruang tamu tanpa rasa bersalah.

"Maaf" Aku membulatkan mataku ketika mendengar Ice mengucapkan kata sederhana yang cukup jarang diucapkan oleh tembok berkaki itu.

Bukannya dia tidak pernah salah. Hanya saja dia itu tidak peka,resek,enggak jelas,ga pedulian,kadang kadang suka cuek tanpa sebab,lebih sayang makanan dari aku,bahkan lebih memilih memeluk bantal tengil miliknya dari pada aku.

Maksudku,hey,Ice. Kamu punya katarak? Tak sadarkah kamu bantal paus yang selalu ada di tanganmu itu sudah jelek,dekil,tengil,kotor,bau,robek sana sini,buluk.

Aku tak akan mempermasalahkan soal bantal atau aku,hanya saja,AYOLAH,BONEKA ITU TIDAK DICUCI BERBULAN BULAN. Bahkan presiden bisa berganti 4 kali hanya untuk menunggu Ice merelakan bantalnya dicuci.

Pokoknya bantal itu tengil. Seperti pemiliknya. Ironis aku menyukai si tengil pemilik bantal dekil itu.

Ugh.

"Blaze,kamu mau es krim?"
"Tidak usah."
"Blaze,kamu mau kopi?"
"..."
"Blaze,mau aku belikan sesuatu?"
"..."
"Blaze,kamu mau beli ponsel?"

Itu menarik. Aku belum membeli ponsel setelah aku melemparnya ke lemari saat kemarin itu. Tapi tidak,ah. Belum seru.

"Tidak usah"

Lalu dia diam. Tak ada pertanyaan lagi darinya. Tidak seperti yang aku ekspektasikan,aku kira dia akan lebih cerewet. Tapi tak apa,melihatnya linglung sudah cukup bagus.

Mungkin ada 1 jam Ice tidak mengeluarkan suara beratnya. Dan setelah itu,tawarannya membuat ku hampir membuka pintu untuknya.

"Blaze,cucikan bantal paus ku"
"Apa?"
"Cucikan bantal paus ku."

𝔹𝕖𝕥𝕨𝕖𝕖𝕟 𝐔𝐬 // 𝐘𝐀𝐎𝐈 𝐈𝐜𝐞𝐋𝐚𝐳𝐞 𝐀𝐔Where stories live. Discover now