Chapter 46 ~ 𝐓𝐡𝐢𝐬 𝐆𝐢𝐫𝐥...

305 38 0
                                    

Kami saling diam satu sama lain selama di mobil perjalanan pulang. Benar benar sibuk sendiri. Aku, dan egoku, memilih tidak mengalah kali ini.

Begitu juga Ice dengan egonya sendiri.

Semuanya terjadi karna perkara Hwa-ra.
Tidak main main ketika pepatah mengatakan Jangan Melihat Orang Dari Luarnya dibuat.

Seharusnya aku tau filosofisnya. Dasar payah. Duuuuh!

Saat itu aku jadi agak dendam dengan wanita. Aku tidak pernah salah apapun, kenapa mereka menggangguku.

Sebenarnya, begini yang terjadi;

Aku menemani Ufan di stand barbeque dan aku dengan polosnya akan berpikir kalau Hwa-ra bisa dipercaya. Jadi aku tak mengecek apa Ice sudah selesai dan hanya mengandalkan telpon dari Hwa-ra.

Sudah hampir 2 jam aku dan Ufan duduk di stand itu. Bahkan Ufan memiliki cukup waktu untuk menceritakan 3 minggu dari harinya hanya karna ini. Aku baru merasa aneh ketika suara panitia sudah sangat sayup terdengar.

Memang sih, stand barbeque agak jauh dari area perlombaan, jadi suara panitia tidak begitu terdengar dan hanya samar samar.

"Kesana yuk." Tanyaku dengan sedikit gelisah. Ufan mengangguk, mungkin juga merasa sudah terlalu lama.

Begitu kami sampai, perlombaan sudah selesai dan pemenang sudah di tentukan. Yang hebatnya adalah Ice juara 1 dan menerima hadiah utama langsung di tempat.

Dan yang tidak mengenakkan adalah, aku tidak di sana buat dia. Lalu yang menjengkelkannya, Hwa-ra tidak menelpon.

Aku mengajak Ufan pergi ke parkiran. Dia datang dengan Skateboardnya. Rumahnya agak jauh dari tempat lomba, meski begitu, dengan skateboardnya Ufan bilang dia mampu mengejar pesawat sekalipun.

Itu skateboard modifikasi Ice. Bisa dilipat, memiliki lampu LED, dan kit keselamatannya memiliki helm yang bisa mendeteksi ada halangan apa di depan pemain. Itu keren.

"Kan dibilang, Hwa-ra tuh, SUS. Kayak lo, tapi beda spesies!" Seru Ufan saat aku menariknya ke parkiran. Aku hanya mendengus. Malas menanggapi lebih.

Aku mengerem diri mendadak di gapura parkiran. "Aduh, muka cakep gue! Punggung lo tuh keras, gak bagus buat muka flawless gu-"

Ufan berhenti mengoceh ketika matanya juga melihat apa yang aku lihat.

"Gak liat, gak liat. Kamu lihat apa Blaze? Ayo kita cari Kak Ice, hahaha. Ayo!" Ufan menarik tanganku yang masih diam di gapura.

Namun bukannya mengikutinya, aku malah geram dan pergi menghampiri seorang Ice dan Hwa-ra.

"Lucu kan, Kak? Kakak mau lihat lagi tidak?" Suara melengking Hwa-ra terdengar. Ice hanya tersenyum tipis dan mengangguk.

Tapi senyum tipis Ice pada Hwa-ra itu dapat membuatku berapi api seperti siap memakan Hwa-ra dalam sekali gigit.

"Anjr apa." Gumamku sambil menarik ponsel yang Hwa-ra tunjukkan pada Ice. Hwa-ra langsung tersentak, Ice dan Ufan tak terkecuali.

Hwa-ra gelagapan sendiri, lalu tiba tiba seperti mau menangis.

"Najis." Aku memutar bola mataku. Melihat ke ponselnya. Sebenarnya apa yang ditunjukkan gadis ini padanya?.

"Omaewaaaa" Ufan berceletuk ketika dia melihat wajah Hwa-ra yang diimut imutkan pada layar ponsel.

"Nenek lampir teranyata Blaze." Bisiknya menyambung. Napas ku semakin menderu. Aku menatap Ice dengan tatapan sinis, lalu beralih ke Hwa-ra dengan wajah mengancam. Ponsel itu aku lemparkan ke Hwa-ra yang untungnya dia tangkap.

"Jijik." Ufan menunjuk wajah Hwa-ra sementara aku masuk ke mobil dengan bergegas dan napas kasar. Tangis Hwa-ra pecah saat itu juga dan membuat perhatian beberapa orang tertuju pada kami.

"Tidak perlu dilihat, nyonya, tuan! Dia ini gadis tidak berguna!" Teriak Ufan. Dia segera mengambil skateboard lipatnya dan menaikinya dengan sembarang.

"Jagain adek lo aja Kak. Ilang entar, gue gak mau bantu lo ya." Kata Ufan sebelum benar benar menggiring skateboardnya pergi.

Hwa-ra masih menangis ketika Ice meninggalkannya dan segera masuk ke mobil. Berlalu dari parkiran. Masa bodoh dengan Hwa-ra.

Ada sedikit rasa senang di hati ku, tapi aku menutupnya rapat rapat dengan ego ku. Aku memilih diam, berkutat dengan ponsel. Membuka Instagram, FB, Twitter, atau apapun yang bisa membuatku sibuk. Atau setidaknya terlihat sibuk.

Ice juga masih sama diamnya. Dia hanya berfokus pada jalanan dan laju mobil. Tidak ada dari kami yang berniat saling menegur untuk apa yang terjadi.

Jujur saja, sih, kami berdua yang salah. Aku sudah mengatakan kalau aku akan mencari stand terdekat dan bisa Ice lihat. Salah Ice adalah tidak menghubungiku atau sekadar mencari dulu.

Waktu dalam perjalanan pulang selalu singkat. Aku tau tidak hanya aku yang merasakannya. Sekarang kami sudah sampai di halaman depan rumah.

"Terimakasih." Kataku lalu segera keluar dan masuk ke rumah. Buru buru ke kamar. Menurut Ice sendiri sih, saat itu ada debaran kencang di jantungnya. Dibarengi rasa gelisah berlebih, tapi ya, itu tadi. Kami punya ego masing masing.

Tidak ada di antara kami yang mau mengalah dan membicarakan semua hal sepele ini meski dengan sudut pandang kami sendiri.

Suasana rumah yang biasanya aku isi dengan omelan saat Ice menggangguku jadi sepi dan senyap. Hanya ada suara Ice bermain game dengan suara cukup kencang.

Dua setengah jam di kamar dan bosan, aku turun ke bawah. Ice masih memainkan dengan keras game sialannya itu. Sementara aku beranjak ke dapur. Mempersiapkan makan siang.

"Mau makan apa?" Tanyaku dengan nada agak sinis. Tapi dia tidak memberi jawaban berarti. Hanya dengusan.

Aku menganggapnya sebagai jawaban terserah, karna dia tidak menjawab dengan jelas. Aku manggut manggut seraya berjalan ke dapur, seolah mengerti apa yang dia isyaratkan.

Celemek biru laut muda itu pas di tubuh kecil ku. Jika bukan karna tidak rapi, tali celemek akan aku biarkan saja menggelantung. Karna sebenarnya tanpa tali, pun, celemek itu sudah pas di tubuhku.

Hanya setengah jam waktu yang ku perlukan. Setelahnya, aku melapor pada Ice bahwa makan siang sudah ada. Tapi dia lagi lagi hanya mendengus dan malah semakin serius pada gamenya.

Aku membuka celemek dan segera mencuci piring. Masih berniat maklum dengan sikapnya. Wajar kalau laki laki sangat menyukai game, aku tidak akan mempermasalahkannya.

Kamar menjadi tujuanku lagi. Aku berniat menelpon Ufan, sekadar mengatasi rasa bosanku.

Namun Ufan ternyata tidak bisa berhubungan sekarang. Ayahnya mau dia ikut bertemu teman kerjanya.

Yah, aku rasa aku sendiri lagi.

Saat keheningan yang aku hindari malah semakin dalam menenggelamkan aku dalam dunia sendiri, dia yang lama kembali.

Yang sudah hampir hilang dari ceritaku ini. Yang sudah tak ada lagi kabarnya sejak beberapa lama.

"Apa beban pikiranmu kali ini, Blaze?"

𝔹𝕖𝕥𝕨𝕖𝕖𝕟 𝐔𝐬 // 𝐘𝐀𝐎𝐈 𝐈𝐜𝐞𝐋𝐚𝐳𝐞 𝐀𝐔Where stories live. Discover now