Chapter 49~𝐏𝐫𝐞-𝐄𝐧𝐝.

500 41 2
                                    

"Blaze, ikut yuk." Itu sekitar jam setengah lima pagi saat Ice yang entah bagaimana bisa bangun pagi, tiba tiba mengajakku pergi keluar.

Dia menggunakan hoodie biru langit dan (tumben sekali) menyisir rapi rambutnya yang hitam agak kecoklatan.

"Tidak makan dulu? Sudah mau matang, kok. Lagi pula, ini masih terlalu pagi untuk toko manapun. Mereka pasti belum buka."

"Tidak belanja kok. Ini minggu pagi, pasti banyak pejalan kaki." Ice memasang sepatunya. Aku mengangguk. Sudah lama sejak terakhir kali aku berjalan jalan di pagi hari. Apalagi berjalan dengan Ice. Seringnya dia mendekapku sepanjang pagi di kasur.

"Kenapa kamu?" Tanyaku sambil mematikan kompor dan mengelap tangan.

"Kenapa apanya?"
"Tumben bangunnya pagi. Apalagi kalau berjalan pagi kan biasanya jam setengah enam."
"Tidak ada apa apa."
"Masa?"
"Benar, kok."

Aku mengiyakan saja, segera bersiap.

Setelah aku mengunci pintu, Ice langsung bergegas lari lari kecil. Aku langsung bingung, pasalnya, arah yang ditujunya bukan jalur yang biasanya.

"Mau ke mana?" Tanyaku setelah berhasil menjejerkan langkah.
"Nanti juga kamu tau. Ikut dulu saja, ya?"
"Terserah."

Dia memimpin jalan selama 10 menit sambil mengocehkan banyak hal. Aku ikut dalam ocehannya karna jarang jarang dia berbicara banyak.

Dia memperlambat langkah saat jalan kami menjadi jalur setapak. Baru ku sadari kami berjalan ke arah pedesaan terdekat. Sangat sejuk, indah dan aneh. Maksudku, buat apa Ice mengajakku kemari?

"Ayo!" Ice menggandengku ke arah bangku yang menghadap petakan sawah. Semburat biru keunguan muncul dari kaki langit.

Ice mengusap bangku panjang itu. Menepuknya untuk memberiku isyarat duduk. Senyumnya manis sekali, membuat siapapun bisa saja menurut padanya.

Kami duduk di bangku panjang itu. Kali ini aku yang menyenderkan kepala di bahu Ice, sementara dia yang mengelus kepalaku. Pemandangan yang jarang aku lihat, semburat fajar mulai terang di kaki langit.

Matahari mulai muncul sedikit demi sedikit. Memberitahu makhluk hidup bahwa hari mereka sudah akan dimulai.

Aku bisa mendengar Ice menarik napas berulang kali.

"Blaze."
"Mhn?"

Jika kamu memfokuskan diri, kamu bisa mendengar debaran jantung Ice yang cukup kencang.

"Kita perlu..."
"..."

Ice memalingkan wajahnya. Tapi aku bisa sedikit melihat rona merah dari pipi ke telinganya. Aku memutuskan menunggu saja dan membiarkannya mendapat sedikit ruang.

5 menit, tepat ketika matahari sudah setengah terlihat di kaki langit, Ice semakin menggenggam tanganku di dalam tangannya.

"Kita perlu membuat surat nikah."

Aku tersentak. Jantungku serasa copot lalu kembali memasang diri di tempatnya berada. (Aku tak tau lagi bagaimana mendeskripsikannya.)

Sepersekian detik, wajahku ikut memanas dan mengeluarkan rona merah. Kami saling diam kemudian. Lalu saat matahari sudah benar benar nampak semuanya, aku tersenyum.

"Kalau begitu kita harus bersiap sekarang, kantornya pasti ramai nanti, kita harus cepat."

Ice yang sedari tadi menyembunyikan wajahnya langsung menengok ke arahku dengan mata membulat. Masih ada jejak merah di sana. Aku bisa melihatnya. Lucu.

Senyumku semakin merekah meski aku tak menatap langsung wajah Ice. Aku tak yakin apa aku bisa tidak pingsan jika melihat senyum senangnya yang sekilas terlihat dari telinga ke telinga. Saking lebarnya senyum itu.

𝔹𝕖𝕥𝕨𝕖𝕖𝕟 𝐔𝐬 // 𝐘𝐀𝐎𝐈 𝐈𝐜𝐞𝐋𝐚𝐳𝐞 𝐀𝐔Where stories live. Discover now