Chapter 47~𝐂𝐚𝐧𝐝𝐥𝐞.

318 40 1
                                    

Angin malam berhembus kesekian kalinya di antara aku, meja belajar, jendela, bulan, dan pikiranku.

Di Bab 7 aku sudah menceritakan sosok dia yang mengaku sebagai aku. Dia sempat hilang tanpa alasan yang jelas, maka dari itu setelah bab 7, aku belum membahasnya lagi.

Sebutlah namanya Blaze 2. Blaze 2 ini sebenarnya hanya seorang teman khayalan yang tak sengaja tercipta. Ketika aku gelisah berat dan tak ada tempat untukku mengeluarkan unek unekku, maka dia akan keluar dengan sendirinya. Otomatis. Tanpa rambu, tanpa disuruh.

Dia mengaku sebagai hati nurani ku, padahal sebenarnya hanya teman imajinasi yang alam bawah sadar ku buat agar kepalaku tak terlalu penuh dengan segala macam hal.

"Kamu muncul lagi..." Aku berlirih.
"Kamu yang membuatku ada." Aku tersenyum simpul. Benar juga.

"Solusi apa kali ini?" Tanyaku lagi. Kali ini sambil membuka buku tugas.

"Kamu harus memikirkan kemungkinan, baru aku dapat memberi solusi."
"Memangnya cara kerjanya begitu?"
"Memang begitu."
"Aneh."
"Kamu mengejek diri sendiri."
"Dasar."
"Pft."

Jika kalian mengatur napas dan duduk serileks mungkin, kalian bisa mendengar deru angin melewati telinga. Mengalahkan dentuman jam yang mengisi ruang kamar.

"Kamu sedang cemburu, tau." Blaze 2 berkata. Aku langsung tersentak. Jika aku tidak segera menyeimbangkan tubuh, mungkin aku akan terjengkang dari kursiku karna perkataannya.

Jika saja dia lebih nyata, dan bisa ku lihat, sudah pasti aku akan membuatnya menjadi ayam geprek.

"Belum mau mengaku?" Dia berkata lagi. Aku berdecak, lalu berpikir sebentar.
"Ayo tunjukkan wujudmu." Jawabku.

Tidak ada lagi bisikan olehnya yang terdengar. Hanya tersisa dentuman jam dan deru angin yang saling susul menyusul.

Tidak lama, hanya 5 menit dia tidak membisikkan apapun.

"Kamu merasa aku ini bagaimana?"
"Apa?"

Tadinya aku mau menutup mata untuk menikmati angin yang berhembus. Namun, aku harus mengurungkan niatku karna dia tiba tiba berbisik lagi.

Sebenarnya  disebut berbisik juga kurang tepat, karna apa yang dia katakan hanya terdengar olehku. Sekadar terlintas di kepala, disuarakan oleh hati, dan didengar oleh jiwa, diilustrasikan oleh pikiran, diperlihatkan dengan mata.

Itulah bagaimana anak anak yang suka menyendiri, terasing, atau bahkan dikucilkan melihat teman mereka yang tidak bisa dilihat orang lain. Terlepas apa mereka indigo atau tidak.

Semua orang pernah punya teman khayalan, paling tidak satu teman khayalan dalam seumur hidup. Kita pernah berbicara entah itu dalam keadaan sadar atau tidak. Pasti pernah.

"Menurutmu aku bagaimana?" Dia bertanya lagi.
"Aku pikir kamu hanyalah doopleganger yang berkeliaran lepas dari pikiran liarku."
"Kamu jahat."
"Masa?"
"Ck."

Hening.

"Kamu cemburu kan?" Aku tidak punya jawaban untuk pertanyaan itu.

"Ayo, jawab. Kamu cemburu kan?" Ulangnya.

Aku tetap diam. Menutup mataku untuk merasakan lebih jelas kedamaian yang angin bawa.

"Itu namanya egois. Kamu sudah di masa akhir remaja loh. Masa masih menyimpan egoisme."
"Aku tidak cemburu."
"Bohong."
"..."
"Seperti ini saja sudah drop. Dulu saat kamu tertekan karna Ayahmu itu, kamu kuat kuat saja. Pikiranmu itu menyebalkan."
"Jangan mengangkat masa lalu."

Hening lagi. Oksigen yang ku hirup mulai mendingin seiring dengan malam yang mulai larut.

"Kamu bukan laki laki gentle."
"Sudah diamlah!"
"Apa yang kamu harapkan, Blaze!. Kamu mau Ice menepis gadis itu dan berteriak padanya kalau kamu adalah pasangannya!?"
"..."
"Ice memikirkan pendapatmu, tau! Dia berpikir kalau dia tidak sengaja mengatakannya apa kamu akan marah! Dia berpikir Hwa-ra itu perempuan! Laki laki brengsek yang kasar terhadap gadis, Blaze! Kamu yang bodoh!"
"..."
"Kamu egois namanya! Kamu cemburu, kamu tidak mau mengatakannya! Kamu mau dia kasar pada gadis juga!? Hanya karna kamu dilatih hidup keras oleh Ayahmu, bukan berarti itu hakmu buat meminta Ice kasar pada orang lain."

𝔹𝕖𝕥𝕨𝕖𝕖𝕟 𝐔𝐬 // 𝐘𝐀𝐎𝐈 𝐈𝐜𝐞𝐋𝐚𝐳𝐞 𝐀𝐔Where stories live. Discover now