10 | yang serius, pasti ngeluarin effort?

3.9K 533 88
                                    

"Qiandra!"

Astaga.

Bisa nggak, sih, Ibra hidup tanpa aku sehariii aja? Pantatku baru banget mencium singgasana, loh! Baru juga bisa bernapas lega setelah sundul-sundulan sama pantat emak-emak di TransJakarta!

Lagian ini baru jam delapan, sedangkan jam kerjaku dimulai jam setengah sembilan! Posesif amat, sih?! Heran!

"Qi!" Teriak Ibra lagi dari dalam ruangannya. "Itu Qiandra kupingnya disumpel lagi, ya?"

"Nggak, paaak! Emang pura-pura budeg aja." Jawabku acuh tak acuh yang langsung disambut tawa tertahan oleh teman-teman satu ruangan.

"Buru, Qi! Saya hitung sampai tiga, kalau hitungan ketiga nggak datang juga, saya ajak training, nih!" Ancam Ibra dengan kurang ajarnya.

Dengan secepat gledek menyambar, aku mengambil notes di atas meja dan berlari ke ruangan Ibra bahkan sebelum Ibra mulai menghitung satu. Masalahnya, ya, nggak ada yang mau training atau dinas bareng Ibra, termasuk aku. Hal itu adalah hal yang paling dihindari semua manusia di akuarium.

Kenapa? Ya, simpel aja. Kita semua ogah kalau harus menghabiskan waktu lebih lama sama manusia kampret satu itu!

"Gitu, dong." Ucap Ibra sambil manggut-manggut ketika melihatku yang sudah di depan pintunya dengan terengah-engah dan rambut awut-awutan seperti Komeng abis dilewatin Valentino Rossi naik Jupiter. Jempolnya bahkan teracung dan rasanya ada hasrat menggebu ingin memelintir jari itu sampai tangannya patah, supaya tangannya bisa aku jual di tukang jual mainan keliling buat dijadiin alat garuk punggung lansia.

"Ada apaan, pak?" Tanyaku ketus. Bibirku manyun, wajahku tertekuk. Pokoknya aku nggak pernah sembunyi-sembunyi kalau mempertontonkan kebencianku pada Ibra.

"Belum sisiran, Qi?"

"Menurut bapak?!" Kini mataku ikut nyolot. Kelopaknya melebar, kalau bisa mataku ini kucabut bentar buat nimpuk dia, mungkin sudah aku lakukan. "Duduk aja baru sedetik, nih, saya! Nggak sekalian aja apa, pak, saya dibawa pulang ke rumah?!"

Ibra terkesiap sampai kepalanya mundur ke belakang. "Kok kamu jadi godain saya?"

Mataku semakin membelalak. Baru sadar sama omonganku yang asal nyeplos barusan. Rasanya langsung pengen cuci mulut pakai disinfektan.

"Centil," cibir Ibra sambil mengangkat berkas di mejanya dan membacanya hingga wajahnya ketutupan. "Jangan gitu, Qi. Saya, tuh, udah tua. Gampang baperan."

Rahangku terjatuh. Mataku menyipit bingung menatap kertas yang menutupi wajahnya.

Benar-benar sakit kepalaku, nih, kalau ngomong sama Ibra. Darah tinggi! Bisa stroke terus mati muda!

Aku memijit pelipisku dengan mata terpejam dan kepala menggeleng pelan. "Pak, nggak usah ngadi-ngadi. Buruan, pak. Ada apa manggil saya? Sibuk, nih."

Emang dia pikir dia aja gitu yang sibuk? Aku juga! Belum nyisir, belum pakai lipstik, belum nyebat, belum nyeduh teh hijau buat menenangkan jiwa—banyak, lah! Itu semua rutinitas yang harus kulakukan ketika sampai di kantor demi melawan segala aura negatif yang harus aku hadapi selama kurang lebih delapan sampai sepuluh jam ke depan!

Ibra menaruh kertas yang daritadi menutupi wajahnya ke meja, lalu melipat kedua tangannya di dada sambil bersandar penuh gaya ke sandaran singgasananya.

Sekilas aku melirik kertas yang baru ia taruh itu dan aku mengernyit bingung karena ternyata kertas itu kosong, saudara-saudara!

Matanya menatapku lurus dengan pongah yang kubalas dengan tatapan sinis dan tajam tanpa gentar.

Lemons✔️Donde viven las historias. Descúbrelo ahora