32 | daripada nggak ada

2.6K 418 141
                                    

Jam baru menunjukkan pukul 8 pagi dan pikiranku udah kusut banget sekarang

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Jam baru menunjukkan pukul 8 pagi dan pikiranku udah kusut banget sekarang.

Aku menghisap rokokku dalam-dalam dan menghembuskannya lagi panjang-panjang. Smoking area di jam segini emang nggak pernah terlalu rame. Mungkin orang lebih milih sarapan dengan tenang dibanding ke sini. Harusnya aku juga, tapi masalahnya pikiranku lagi nggak karuan.

"Duh! Mama nggak mau, ya, kamu dilangkahin, Qi! Mama takut jodoh kamu makin jauh! Udah, deh. Mending kamu mama kenalin sama anak teman mama yang kemarin kerja jadi ABK di kapal—duh, kapal apa, ya, namanya? Mama lupa! Pokoknya yang di Amerika itu! Keren!"

"Keren apanya, sih, ma?! Orangnya aja freak gitu!"

"Freak kenapa, sih?! Kamu jangan kebanyakan milih, lah!"

"Dia selalu ngomong pake kata ganti orang ketiga! 'Amirul, sebagai seorang anak yang berbakti, dia selalu mencoba mengirim uang 10 juta setiap bulan untuk mama papanya. Dia nggak pernah lupa juga untuk sedekah'," aku menirukan cara orang itu berbicara. "Kerasukan khodamnya sendiri apa gimana, sih? Lagi ngomongin diri sendiri tapi ngomongnya kayak gitu. Udah mana keringatnya banyak banget! Qian sampai ikutan bas-ket lihatnya!"

"Daripada nggak ada!" Sentak mama.

"Mending nggak ada!!!"

"Pokoknya sebelum keluarga Adit datang ke sini buat ngelamar Ola, mama mau kamu udah punya calon, Qi! Titik!!!"

Perdebatan tadi malam di antara aku dan mama kembali terngiang dengan nyaring di kepalaku sampai aku kembali pusing.

Kenapa, sih, mamaku toxic banget kayak gini? Ada nggak, sih, nih, pelatihan buat jadi orang tua yang kalem menghadapi kondisi dimana anaknya nggak laku-laku? Kubayar, deh, berapapun biayanya! Daripada mesti dengar mamaku bawel banget gara-gara Ola mau dilamar. Bukannya bersyukur dan fokus aja sama anak perempuannya yang mau dipinang, malah ribet ngurusin aku!

Perbincanganku dengan Shalitta semalam juga terus-terusan terulang di pikiranku. Kalimat demi kalimatnya mengingatkanku tentang keputusan yang seharusnya aku ambil di masa depan.

"Gue dengar tadi dari nyokap katanya Zora calon lo," Shalitta menggeleng berkali-kali. "Gue nggak setuju, sih, nyet, lo ama Zora. Big no. Bukannya apa, tapi lo lihat sendiri itu anak tadi nyamperin siapa."

"Kenapa emang sama itu Miss Indonesia?" Tanyaku.

"Rielle itu ... kayak versi ceweknya Zora. Dia, kan, bebas banget gitu pergaulannya. Makanya dulu bisa jadi temen bobonya Malik—"

"Terus lo masih bisa anteng berteman sama mantan temen bobo Malik?!" Icha melotot dengan suara ngegas yang tertahan karena Gentala sedang tertidur di gendongannya.

"Ya, gue juga temen bobonya Malik. Bedanya cuma naik pangkat aja. Ngapain juga gue nggak anteng?" Jawab Shalitta dengan santai sampai bikin aku pengen ngakak karena ada benarnya juga. "Gue dengar dari Malik, mereka kenal pas clubbing gitu, Qi. Gue nggak mau bayangin lagi kelanjutannya. Pikir sendiri aja."

Lemons✔️Where stories live. Discover now