"Kasihan," ucap Reksa dengan suara berbisik, tapi tak sedetikpun berhasil membuat mataku beralih dari apa yang telah menjadi fokus perhatianku sejak aku datang tadi. "Ibra kelihatan banget daritadi ngawang. Walaupun matanya ketutupan, tapi gerak-geriknya kelihatan banget kalau dia kosong."
"Tapi hebat, ya, dia masih bisa jaga imagenya yang garang itu di pemakaman ibunya kayak gini," Sahut Davina. "Gue pikir dia bakal nangis kejer. Ternyata masih bisa tenang."
"Kita nggak pernah tahu, guys, apa yang ada di balik itu semua. Bisa aja, di balik kacamata itu, ada mata segede bola pingpong." Tambah Ci Novi dengan wajah prihatin.
Dadaku terasa sesak. Aku teringat malam di rumah sakit kemarin lusa. Aku masih ingat betapa rapuhnya Ibra kalau sudah berurusan dengan ibunya. Aku masih ingat jelas dekapannya yang amat erat. Telingaku pun juga masih memutar berulang kali suara isak tangis menyedihkan yang keluar dari mulutnya.
Rasanya sangat memilukan.
Aku yakin, di balik kacamata hitam yang ia pakai, pasti ia menyembunyikan kesedihannya yang amat dalam.
Mataku kembali menitikkan air mata untuk yang kesekian kali siang ini. Buru-buru aku menundukkan kepala dan mengusap pipiku cepat dengan jari jemariku.
Aku tidak ingin teman-temanku tahu bahwa aku sampai menangis. Aku menahan tangisanku sekuat tenaga meskipun sebenarnya aku ingin menangis kencang.
Aku benar-benar terpukul dan sedih. Mengenal mamanya Ibra dan menyaksikan bagaimana hubungannya dengan Ibra, membuat hatiku ikut hancur saat ini. Namun aku tidak bisa memperlihatkannya karena akan sangat aneh di mata orang-orang. Nggak ada yang tahu kalau aku mengenal mamanya Ibra secara personal.
Ibra terlihat tenang sejak kita datang. Ia hanya berjongkok di sebelah jenazah sang mama yang sudah dibungkus kain kafan. Aku nggak tahu tatapannya kemana karena matanya tertutup kacamata hitam. Beberapa kali, ia menjawab pertanyaan orang lalu kembali diam.
Ibra turun ke dalam untuk menguburkan jenazah mamanya, dan pada akhirnya, kami semua nggak ada yang bisa menahan tangis ketika suara adzan Ibra dari dalam liang lahat terdengar. Suaranya bergetar dan menyayat hati semua orang.
"Sedih banget, guys. Nggak kuat." Bisik Acid dengan air mata bercucuran.
"Baru kali ini dengar suara Ibra kayak gitu. Kedengeran banget dia nahan nangis." Davina menambahkan sambil mengusap air matanya.
"Gue jadi kangen mama." Cicit Reksa.
Mulutku tak bisa ikut berkomentar karena dadaku rasanya sesak luar biasa. Suara adzan Ibra benar-benar membuat pertahananku agar tidak menangis seketika berantakan.
"Qi," bisik Ci Novi sambil mengalungkan lengannya di bahuku dan merangkulnya. "Kalau mau nangis, keluarin aja. It's okay."
Aku menatap Ci Novi dengan pandangan yang sudah kembali buram, dan anggukan sedih darinya membuatku akhirnya melepas pertahanan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Lemons✔️
ChickLit[Bukabotol #3] Aku yakin, aku lagi menghadapi quarter life crisis versiku di umur 27 tahun menuju 28 tahun. Melihat pencapaian anak-anak muda jaman sekarang, bikin level insecureku semakin melesat. Masa mereka umur 22 udah punya mobil sendiri? Rumah...