24 | kebakaran

2.9K 389 94
                                    

Rencana Ali untuk menjemputku di rumah cuma bisa jadi wacana tadi

Hoppla! Dieses Bild entspricht nicht unseren inhaltlichen Richtlinien. Um mit dem Veröffentlichen fortfahren zu können, entferne es bitte oder lade ein anderes Bild hoch.

Rencana Ali untuk menjemputku di rumah cuma bisa jadi wacana tadi. Kemacetan di Jakarta pada weekend pertama setelah gajian benar-benar nggak ada obatnya. Daripada aku sama Ali nggak jadi kencan, akhirnya aku menawarkan diri untuk ketemu di tengah daripada waktu kita habis cuma buat nunggu Ali menerjang macet untuk menjemputku di rumah.

Berkat itu, aku dan Ali bisa lebih cepat bertemu. Kami memutuskan untuk ke PIK. Makan siang di La Riviera. Deretan ruko yang didesain ala Belanda dengan kanal di bagian tengahnya.

Tempatnya lumayan ramai, tapi surprisingly tidak seramai yang kubayangkan. Tidak sepenuh Pantjoran atau Cove Batavia.

Jejeran tenda penjual makanan terlihat dari ujung ke ujung. Aku dan Ali sempat berjalan menyusuri semua penjual makanan yang ada hanya untuk survey sebentar mau membeli apa. Setelah beberapa menit menyusuri semuanya, aku dan Ali setuju membeli nasi ayam khas Semarang.

Begitu duduk, aku langsung mencicipi makanan yang ditaruh di atas lipatan daun pisang itu.

"Uh!" erangku saat campuran nasi, ayam suwir, krecek dan sayur labu berkuah opor itu masuk ke dalam mulutku. "Enak banget. Aslik!"

Ali yang juga sedang menyuap makanan yang sama kontan terkekeh. "Pelan-pelan, Qi."

"Hmmmhhhh ..." desahku sambil merem melek. "Ini emang enak banget apa aku yang kelaparan, ya?"

Aku mengambil sate usus yang sudah berlumur kuah opor dan menggigitnya.

"Kamu kayak Suzanna," Ledek Ali sambil tertawa pelan. "Suzanna versi millennial. Soalnya Suzanna original nggak makan sate usus."

Aku sontak terkikik geli. "Kan, kan. Ketahuan umurnya. Referensinya jadul banget. Suzanna."

Dalam waktu yang begitu singkat, nasi Semarang milikku habis. Sedangkan Ali masih ada setengah. Dahiku mengerut menatap ke arahnya. "Ini antara aku yang makannya kecepetan atau emang kamu yang nggak suka makanannya, ya? Kok kamu lama banget makannya? Porsinya, kan, cimit banget, lho, ini."

"Udah jelas karena kamu yang makannya kecepatan, lah, Suzanna." Jawab Ali sambil tersenyum miring setelah berhasil menelan makanan yang sedari tadi ia kunyah. "Aku menikmati banget setiap paduan cita rasa dari semua hal yang dicampur di sini. Manisnya, pedasnya, gurihnya—aku makan sambil menganalisa dari mana asal rasa yang terasa di lidahku."

Mataku membeliak ngeri. "Ribet banget!"

Ali tertawa cekikikan.

"Orang product emang harus gitu, ya? Mikirin semua hal datangnya dari mana dan prosesnya gimana?" Ledekku dengan bibir mencebik.

"Nggak, lah, Qi. Aku emang nggak mau buru-buru," sahut Ali seraya terkekeh. "Biar bisa lama di sini sama kamunya."

"Yailaaaa!" cibirku sambil berusaha sekuat tenaga menahan salting sedangkan Ali malah tertawa lepas kesenangan.

Lemons✔️Wo Geschichten leben. Entdecke jetzt