30 | malik-tata jilid 2

3K 420 84
                                    

"It's just sooo depressing," Aku menjatuhkan diri di atas tempat tidur milik Shalitta dimana Thalia sedang bersandar ke headboard tempat tidur sambil mengelus-elus perut buncitnya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"It's just sooo depressing," Aku menjatuhkan diri di atas tempat tidur milik Shalitta dimana Thalia sedang bersandar ke headboard tempat tidur sambil mengelus-elus perut buncitnya. "Ngejomlo di umur kita ini benar-benar bikin anxiety. Gue udah hampir yakin kalau gue akan jadi perawan tua. Nggak nikah. Hidup sendirian sampai mati."

Aku, Icha dan Thalia sedang di rumah mertuanya Shalitta yang gedenya kayak Disney Castle. Kami berencana menginap untuk bantu-bantu acara 4 bulanan Shalitta besok.

Sang pemilik kamar yang sedang selonjoran di karpet sambil disisirin Icha menyahut, "Marriage is not that simple, Qi. Ini, tuh, nggak sesimpel yang penting lo ada teman di masa tua."

"Kalau lo nggak mau sendirian, bisa tinggal di panti jompo, Qi. Temannya banyak." Sambung Icha.

"Sialan!" Semburku.

"Yeee! What's wrong with that?" Tambah Icha sambil terus menyisir rambut Shalitta yang sebenarnya udah rapi. Emang dasar itu bumil aja pengen dimanja-manja. "Stigma orang soal panti jompo tuh jelek banget, deh. Padahal, kan, bagus. Lo pikir aja. Semakin tua, circle makin kecil. Baru umur segini aja teman makin dikit. Gimana nanti kalau kita udah sepuh? Di panti jompo, kita malah banyak teman. Mana bakal kesepian?"

Aku mengerang gemas. "Ah, kalian mana paham sama perasaan gue! Kalian nggak ngerasain jomlo dari orok sampai umur segini!"

"Iya, oke. Kita nggak paham, tapi kita cuma pengen lo tahu kalau nikah itu bukan cuma sekedar fulfilling cycle of life. Lo nggak boleh asal pilih. Lo, tuh, milih teman hidup. Jangan cuma karena kepepet umur, terus lo gegabah comot siapa aja yang mau." Thalia menambahkan sambil menyentil pelan dahiku.

Aku mendongak hingga memutar balik tubuhku yang telentang menjadi tengkurap agar bisa menatap Thalia. Perempuan ini sedang membicarakan dirinya sendiri, kah?

"Menurut lo apa yang penting dalam pernikahan?" Tanyaku pada Thalia.

Aku bisa melihat raut Thalia beriak. Wajahnya sedikit terkesiap karena tiba-tiba kutembak dengan pertanyaan seperti itu. Namun kemudian, ia tersenyum kecil yang terlihat masam.

"Cinta." Jawabnya sambil mengalihkan tatapannya. Wajahnya tertunduk meskipun bibirnya masih melengkungkan senyum kecil yang tampak sedih di mataku.

"Klise banget." Kekeh Icha dengan nada mencibir.

Bercanda. Semua orang juga tahu kalau Icha sama aja bucin dan klisenya.

"Iya, nih. Hopeless romantic." Thalia menambahkan sambil tertawa kecil, meledek diri sendiri.

"Tapi, ya, menurut gue, emang cinta itu yang bikin kita bisa menerima kejelekan pasangan kita," sahut Shalitta menyetujui jawaban Thalia soal cinta. "Lo bayangin, deh, misal lo kesal sama pasangan lo, pengen banget lo tendang dia keluar rumah, tapi karena cinta, lo nggak bisa lakuin itu. Kayak ... untung cinta. Kalau nggak, lo taruh lagi itu handuk basah di atas tempat tidur, gue tendang lo keluar tata surya."

Lemons✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang