58 | the last chapter - lemonade

9.5K 567 167
                                    

"Mana calon kamu, Qi?"

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

"Mana calon kamu, Qi?"

Pertanyaan itu membuat fokusku—yang sedang menatap Ola dan Adit yang asyik mengambil foto sambil pamer cincin di depan backdrop dekorasi—akhirnya teralihkan. Pertanyaan ini udah yang kesekian kali hari ini.

Meladeni pertanyaan itu, aku hanya melengkungkan senyuman. "Tante, tante, tante," ucapku seraya menggelengkan kepala. "Baru ketemu lagi setelah seratus delapan puluh dua kali bulan gantian shift sama matahari, kok yang ditanya malah calonku? Tanyain aku, kek, atau bahas yang lain, kek." Aku terkekeh menepuk pelan lengan Tante Yeyen—adiknya mama. "Tante tahu nggak harga tanah di IKN katanya cuma sejuta per meter? Murah banget, lho, tante! Senin harga naik! Tante nggak mau pindah IKN, aja, kah?" Ucapku dengan nada bicara seperti sedang membicarakan gosip teranyar. "Terus tante tahu nggak panjang jalan trans papua dari Jayapura ke Wamena? Puanjang banget, tante! Asli! Kira-kira umur kita sepanjang itu nggak, ya?"

Tante Yeyen geleng-geleng kepala. "Pantesan kamu nggak laku-laku, Qi. Aneh, soalnya."

"Enak aja!" Serobot mama yang tiba-tiba udah di sebelahku. "Siapa yang nggak laku?! Anakku ini bukannya nggak laku, ya! Dia belum ketemu jodohnya aja! Lagian emang kamu kira anakku kue pancong di pasar pagi apa? Nggak laku, nggak laku! Urusin aja sana anakmu itu! Skripsi kok 2 tahun? Ditulis tangan, apa, skripsinya? Kok nggak kelar-kelar."

"Ih, ceceu! Skripsinya Hani, mah, susah!" Tante Yeyen gantian terlihat bete.

"Laaah, skripsi Hani yang kendalinya di tangan dia aja dibilang susah, gimana jodohnya Qiandra yang kendalinya di tangan Allah?!" omel mama. "Bisa kita atur-atur Allah?! Berani kamu?"

Aku tertawa mendengar kengototan mama yang jelas nggak akan mau kalah.

"Awas, ya, kamu kalau aku dengar lagi kamu ngomong ke anakku atau ke keluarga yang lain kalau anakku nggak laku!"

"Ih, yang sabar atuh, ceu. Marah-marah, kitu, kenapa, sih?"

"Sabar, sabar, naon! Urang sabar kusabab boga hate. Coba lamun urang boga batu. Geus dibalangkeun batuna kana beungeut sia! (Aku sabar karena punya hati. Coba kalau aku punya batu. Udah kutabokin batu itu ke mukamu!)" Sahut mama yang masih belum mau ngerem dan malah bikin aku semakin ngakak.

"Iiiihhhh, ceceu. Kasar amat. Auk ah elap. Mau cari makan." Tante Yeyen melengos lalu melangkah menjauh mencari makanan di meja prasmanan.

Aku menatap mama dan tertawa ngakak sambil mengacungkan jempol. "Top banget mama aing!"

Wajah mama yang masih memberengut itu tiba-tiba berubah sedih.

"Lah, mengapa Ibu Rini Sumarini bermuram durja? Anaknya, kan, baru aja dilamar. Mana senyumnyaaa?" Candaku sambil menarik sudut-sudut bibir mama agar membentuk lengkungan.

"Ini, lho, yang mama takutin, Qi. Mama, tuh, takut banyak yang nanya-nanya gini ke kamu dan bikin kamu kecil hati. Makanya mama nggak pengen kamu dilangkahi."

Lemons✔️Where stories live. Discover now