49 | all is fair in love and war

4.1K 571 208
                                    

"Mau sampai kapan, sih, kamu nuduh aku—"

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Mau sampai kapan, sih, kamu nuduh aku—"

"Loh?! Emang kamu nggak lihat posisi kamu sama dia tadi sedekat apa, hah?! Butuh aku foto dulu, Qi, biar kamu sadar?!" Lagi-lagi Ali meninggikan suaranya, memotong ucapanku untuk yang kesekian kali seolah tak mau mendengarkan pembelaanku sama sekali. "Lagi ngomongin apa sama dia sampai serius banget gitu?"

Aku tergugu. Nggak mungkin aku jujur. Nggak mau juga kalau aku harus berbohong. Akhirnya aku hanya bisa membuang muka.

"Nah. Diam, kan, kamu?" Dengkus Ali sambil terkekeh sinis. "Masih mau bilang nggak ada apa-apa, Qi?"

"Emang nggak ada apa-apa, kok." Jawabku pelan sambil mengalihkan tatapanku keluar jendela, berusaha menghindari tatapan penuh tuduhan dari Ali yang rasanya sedang menelanjangi dosa-dosaku.

"Kamu ngarep aku percaya kalau kamu nggak ada apa-apa sama dia di saat kamu sendiri kelihatan nggak yakin sama jawaban kamu, hah?"

Ucapan Ali membuat degup jantungku kembali berkejaran. Kegugupan sontak menjalar ke seluruh tubuh.

"Kamu lihat, deh, muka kamu. Lihat gimana kamu sendiri kelihatan ragu sama apa yang kamu bilang barusan," lanjut Ali dengan sinis. "You are an open book, Qiandra. You cannot hide anything from me."

Mataku mulai merasa panas. Air mata mendadak menggenang di sudutnya.

Jujur. Aku capek banget. Aku pusing. Aku nggak paham sama semua yang terjadi. Aku nggak paham kenapa aku bisa sampai melakukan kesalahan kayak gitu di rumah Ibra. Aku nggak paham kenapa ada perasaan aneh—yang nggak bisa aku kasih nama—setiap aku berhubungan sama dia. Aku nggak paham sama semua omongan Ibra tentang catur dan ratu atau apalah itu. Aku nggak paham apa yang sebenarnya aku rasa sekarang. Aku nggak paham dan aku lagi berusaha memahami. Namun kini Ali keburu kembali memberondongku, menjabarkan kesalahanku, memojokkanku sampai aku rasanya mau meledak.

Aku benar-benar nggak ngerti sama semua yang berdesakkan di kepala dan menyesakkan dadaku. Aku nggak ngerti sama semua keributan ini. Ini semua baru bagiku dan aku kewalahan memahaminya. 

Air mataku akhirnya merembes keluar diikuti dengan isakan yang mendadak pecah di balik kedua tangan yang menutupi wajahku.

Ali terdiam. Mobilnya yang sedaritadi dipenuhi pertengkaran antara aku dan dirinya, kini hanya dipenuhi suara tangisku. Aku menangis, menumpahkan kebingunganku dan perasaan-perasaan lain yang tak bisa kupetakan satu-satu.

Tangisanku menggelontor deras seperti air terjun. Luapan emosi ini nggak tahu buat apa dan karena apa. Aku nggak tahu aku kenapa dan harus bagaimana. Semuanya membuatku bingung.

Bahuku yang bergetar karena tangisku yang sesenggukan tiba-tiba dirangkul dan ditarik ke dalam dekapan. Lenganku diusap lembut beberapa kali, puncak kepalaku dikecup dalam dan lama.

Ali memelukku yang masih menutup wajah dengan kedua tangan dan terus menangis. Ia telah menepikan mobil hanya untuk menenangkan aku.

"Bisa nggak jangan bentak-bentak aku?" pintaku di sela isak tangisku. "Kasih tahu aku yang bener, Li. Aku, kan, emang bego—"

Lemons✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang