33 | memori paling berharga

2.6K 386 94
                                    

"Halo, sayang

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

"Halo, sayang."

Sebuah usapan lembut di kepala menyambutku yang baru saja masuk ke dalam mobil.

"Hai." Balasku sambil tersenyum kecil.

"Udah makan?" Tanya Ali sambil kembali menjalankan mobilnya yang tadi berhenti sebentar di lobi kantorku.

Aku hanya menggeleng tanpa mengeluarkan suara apapun. Perhatianku seratus persen kepada seat belt yang sedang kupasang seolah-olah pemasangan seat belt itu sulit dan butuh perhatian khusus. Padahal aslinya aku sedang mencoba menahan protes serta berbagai pertanyaan yang sudah berdesakkan di mulutku. Rasanya jika aku buka mulut, semua akan langsung keluar tanpa bisa kutahan.

"Mau makan dulu nggak? Aku belum makan juga, nih. Lapar." Usul Ali santai, masih sambil fokus kepada jalan di depan.

"Boleh." Jawabku singkat.

Ali mengangguk. "Oke."

Lalu setelahnya mobil pun hening. Ali sibuk nyetir sedangkan aku sibuk berpikir. Masih berusaha menimbang bagaimana bisa memulai pembicaraan dengan cara yang aman.

Aku nggak mau Ali menganggap aku cewek demanding. Tukang protes dan tukang marah yang kerjaannya ribut cuma gara-gara nggak dikasih kabar. Ditambah lagi aku, kan, belum jelas statusnya apa. Emang apa hakku untuk protes ini itu? Salah-salah, dia malah berubah pikiran karena belum jadi pacar aja aku udah nggak menyenangkan.

"Kok diem? Kenapa?" Tanya Ali yang akhirnya merasakan kejanggalan dari keheningan ini.

"Nggak apa-apa." Aku menggeleng.

Ali menoleh padaku beberapa kali. Ia mencoba membagi perhatiannya antara jalan dan aku.

"Kamu ... masih marah?"

Aku mengernyit. "Kok kamu bilang gitu? Aku, kan, cuma diam."

"Diamnya kamu itu marah, kan?"

Ck. Aku, nih, emang gampang ketebak banget kayaknya.

Napasku terhembus panjang. "Nggak, kok. Malahan aku diam karena lagi mikir gimana cara ngomong sama kamu tanpa kedengaran marah."

"Ya, kalau kamu emang marah, mau dibikin kedengaran kayak apa juga tetap aja ketahuan kalau kamu lagi marah." Balas Ali.

Aku terkekeh miris. "Gitu, ya?"

Ternyata sia-sia. Soalnya mau gimana pun aku coba menyembunyikannya, kenyataannya memang aku sedikit kesal.

"Ya, udah. Ngomong aja," Gantian, kini Ali yang menghembuskan napas panjang. Tangannya terulur mengusap kembali kepalaku dengan lembut. "Aku dengerin dan janji nggak akan invalidate kemarahan kamu."

Aku terdiam sebentar. Hanya menatap Ali lurus sebelum kemudian menghela napas dalam-dalam dan menghembuskannya lagi. Diberikan kesempatan seperti ini, membuatku benar-benar merasa dihargai. Aku nggak boleh mengambil kesempatan yang udah Ali kasih hanya untuk marah-marah nggak terkendali.

Lemons✔️Where stories live. Discover now