53 | zora dan kejelasannya

3.1K 452 197
                                    

Seharian ini, kerjaanku semakin berantakan

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Seharian ini, kerjaanku semakin berantakan. Beberapa kali aku dipanggil Ibra dan dibentak karena aku benar-benar keteteran. Kerjaanku nggak ada yang selesai. Semua userku mulai protes. Ibra harus meminta Acid untuk membantuku menyelesaikan pekerjaan daily yang nggak kepegang. Acid terpaksa melakukannya karena kalau Ibra sudah bertitah, memangnya siapa yang bisa melawan?

Acid nggak mengeluh padaku, walaupun wajahnya terlihat tertekuk. Tampaknya semua teman-temanku nggak mau bertanya lebih lanjut soal keadaanku. Mereka bisa melihat kalau pikiranku masih acak-acakan dan akan percuma diajak bicara. Aku pun juga bukan tipe orang yang bisa curhat duluan kecuali ditanya.

Beberapa kali aku berharap ada tempat yang aman untuk aku melampiaskan emosiku yang berdesakkan. Beberapa kali aku berharap ada seseorang yang bertanya tentang apa yang sedang aku rasakan.

Namun ...

"Masih bengong? Ini payment voucher yang kamu taruh, kalau bukan saya yang balikin ke kamu, mau sampai kiamat di meja saya, Qi?" Ibra menaruh satu clear holder berisikan tumpukan payment voucher yang harusnya kuambil di mejanya setelah ia selesai memeriksanya. Tanpa menunggu aku menjawab, Ibra balik badan dan segera kembali ke ruangannya.

Aku menatap clear holder yang tadi Ibra taruh di hadapanku, dan seketika dadaku kembali merasakan ngilu.

Kenapa aku berharap Ibra bertanya tentang keadaanku? Kenapa aku berharap Ibra bisa lebih peduli kepadaku sebagaimana dari kemarin aku peduli sama dia?

Ponselku bergetar tanda pesan masuk untuk yang kesekian kali. Aku tahu itu Ali.


Kagendra Magali Azhar
Qi, nanti aku jemput kayak biasa ya
Kamu udh mkn siang?
Sayaang
Yang, kok chat ku ga dibaca?
Nanti aku jemput ya
Pokoknya tunggu aku
Oke?


Kenapa lagi-lagi rasanya sangat menyedihkan mengingat bahwa selama ini hanya Ali yang kerap bertanya mengenai hariku dan apa yang aku rasakan?

Aku cuma punya Ali.

Mungkin Ajeng benar. Aku yang nggak mau melepaskan Ali karena aku nggak sanggup kehilangan satu-satunya yang aku punya.

Daritadi aku berusaha nggak mengacuhkan pesan Ali. Aku nggak membaca pesannya karena—jujur—aku marah. Aku ingin teriak di depan mukanya.

Bagaimana bisa dia memintaku untuk tetap bersamanya, menunggunya, tapi dia masih tidur dengan istrinya?

Ucapan Ajeng terus terulang di kepalaku. Pertanyaan terbesarku—tentang apakah Ali akan masih membutuhkanku jika Ajeng mau menurunkan egonya—nggak mau hilang dari benakku. Aku ingin jawaban dari pertanyaan itu. Aku ingin mengetahui apa Ali membutuhkanku seperti aku membutuhkannya.


Qiandra Asya Janice
Oke


Lemons✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang