Ibra POV #1 — Anak Mama
"No."
Jantung gue berhenti berdetak.
"The answer is no. I'm sorry."
Gue nggak salah dengar, kan? Barusan Sabrina bilang "no", kan? Itu artinya ... dia nolak lamaran gue?
"Maksud kamu?" Tanya gue.
Sabrina menghela napas dalam-dalam dan menghembuskannya sambil tertunduk. Wajahnya terlihat gelisah.
"Aku nggak bisa nikah sama kamu." Ulangnya dengan lebih jelas.
Gue mematung kaku menatapnya dengan sejuta pertanyaan yang memenuhi kepala gue. Rasanya kayak ada demonstran yang lagi teriak-teriak bikin huru-hara di sana. Saking rusuhnya, gue malah nggak bisa milih pertanyaan mana yang mau gue suarakan.
Sabrina menatap gue dengan raut penuh penyesalan. "I love you, but ... i don't think i can live with you ..." ucapnya sambil meremas lembut tangan gue yang sedaritadi di atas meja. "I don't think i can live with you ... and your mom."
***
Ibra POV #2 — As Much Time Together as Possible
"Angka new business kita bulan ini emang naik, pak. Jadi kalau nggak salah ingat, dari tim Bancassurance, mereka akan coba bikin contest yang ..."
Astrid lagi ngomong di depan gue, tapi mata gue dari tadi nggak bisa fokus. Berulang kali gue udah coba fokus sama apa yang lagi Astrid omongin tentang pekerjaan dia, tapi berulang kali itu pula gue malah teralihkan kepada apa yang ada di luar ruangan gue.
Seseorang, sih, lebih tepatnya. Seorang wanita yang lagi tertawa dengan heboh bersama teman-temannya. Gue nggak bisa dengar dia ngomong apa soalnya pintu ruangan gue lagi ditutup dan jadi kedap suara. Namun gue bisa lihat semuanya. Gimana dia ngakak sampai mulutnya kebuka lebar, gimana tubuhnya heboh banget gerak semua dari atas sampai bawah, dan gimana dia selalu tepuk tangan setiap tawanya pecah.
Udah berulang kali gue coba nggak teralihkan, tapi setiap dia bergerak, fokus gue buyar dan kembali mengarah ke luar.
"Pak?" Astrid memanggil gue sambil melambaikan tangan dan menatap gue dengan penuh selidik. "Halooo?"
Gue langsung mengerjap beberapa kali dan menggelengkan kepala. "Kenapa?"
"Jadi mau kita review dulu nggak KPI mereka?" Tanya Astrid.
"Hah? KPI apa?"
Kepala Astrid tersentak ke belakang diiringi kernyitan heran. "Bapak dari tadi nggak dengerin saya, ya?"
Gue berdecak. "Itu di luar Qiandra heboh banget! Saya jadi nggak bisa fokus! Bisa diam nggak, sih, tuh anak? Heboh banget!"
Astrid menoleh ke belakangnya untuk melihat apa yang gue maksud. "Suaranya, kan, nggak kedengeran."
"Tapi dianya kelihatan!"
***
Ibra POV #3 — I'm Falling
"Saya nggak bisa napas, nih, pak!" ucapnya seraya membuka jaket yang ia kenakan, dan dengan santai ia menaruhnya di pangkuan gue.
"Terus?" tanya gue datar. "Butuh napas buatan apa gimana?"
Ia memicing ke arah gue dan berdecak sebelum kembali memejamkan mata.
Gue mengambil botol air mineral yang baru saja gue beli tadi sebelum naik ke pesawat, dan menaruh botol itu di pangkuannya.
YOU ARE READING
Lemons✔️
ChickLit[Bukabotol #3] Aku yakin, aku lagi menghadapi quarter life crisis versiku di umur 27 tahun menuju 28 tahun. Melihat pencapaian anak-anak muda jaman sekarang, bikin level insecureku semakin melesat. Masa mereka umur 22 udah punya mobil sendiri? Rumah...