55 | lihatlah lebih dalam

3.3K 529 152
                                    

"Qian, please," Ibra menghembuskan napas panjang seraya memijat dahinya seolah menahan kesal

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

"Qian, please," Ibra menghembuskan napas panjang seraya memijat dahinya seolah menahan kesal. "Mau sampai kapan kamu nggak fokus sama kerjaan kamu?"

Semua orang di dalam ruangan Ibra hanya bisa terdiam, nggak berani sedikitpun mengeluarkan suara. Mereka tahu kalau Ibra saat ini sedang menahan ledakan. Ibra udah capek marah-marah, bentak-bentak aku, karena kenyataannya, nggak ada pengaruhnya. Kinerjaku masih payah. Kerjaanku masih berantakan semua.

"Kamu butuh cuti?" Tanya Ibra seraya melempar pelan clear holder ke hadapanku. Ia hanya menggelengkan kepala, tanpa sama sekali menatapku. "Saya nggak mau juga marah-marah terus ke kamu, Qi."

"Butuh resign kayaknya, pak." Ceplosku asal, disetir oleh emosi.

Semua orang terkesiap dan menoleh ke arahku berbarengan.

Ibra yang masih memijat dahinya langsung mengalihkan fokusnya ke arahku dan menatapku dengan tajam.

Napasnya terhembus berat sebelum kemudian matanya mengerling ke arah Acid, Reksa dan Ci Novi. Tangannya mengibas pelan mengusir mereka. "Yang lain keluar."

Dengan enggan dan saling bertukar tatap kebingungan, teman-temanku beranjak berdiri dan meninggalkan ruangan.

Ibra menghembuskan napas panjang sekali lagi, lalu menatapku lekat-lekat. "Maksudnya gimana?"

Aku membuang muka. "Saya sadar saya nggak becus. Mending saya mengundurkan diri aja."

"Qi, come on ..."

"Nggak apa-apa. Daripada saya nyusahin orang, mending saya resign." Ucapku seraya berdiri, hendak menyusul teman-temanku keluar ruangan.

"Qiandra!" Ibra buru-buru berdiri mengejarku dan menarik lenganku. "Bisa nggak jangan bersikap kekanak-kanakan kayak gini? Kamu udah dewasa!"

Aku pun nggak tahu kenapa aku bersikap seperti ini. Marah? Malu? Yang jelas, aku udah terlanjur nggak punya muka sama Ibra. Aku merasa kayak orang tolol di sini. Benar-benar tolol dan menyedihkan.

Ibra pasti sudah tahu dari awal kenapa kinerjaku akhir-akhir ini berantakan. Ibra pasti sudah tahu dari awal masalah apa yang sedang kupikirkan hingga membuat fokusku nggak keruan.

"Kamu tahu sumber masalahnya dimana. Itu yang harusnya kamu buang! Bukan pekerjaan kamu!" ucap Ibra dengan emosi tertahan. Ia menahan suaranya agar tidak kencang dan hanya bisa didengar oleh kami berdua. Walaupun sudah jelas, semua orang bisa melihat bahwa aku dan Ibra sedang bersitegang. Ruangan Ibra terbuat dari kaca dan transparan.

Mataku dan Ibra beradu dengan tajam. Tatapan Ibra yang nyalang membuatku merasa kecil. Ini memang bukan soal pekerjaan. Saat ini, aku hanya ingin menghilang dari hadapan Ibra karena aku terlalu marah. Aku terlalu marah pada diriku sendiri karena aku mempermalukan diriku sendiri di depan Ibra.

Aku nggak bisa terus menerus bertemu dengannya.

"Saya nggak akan terima surat pengunduran diri kamu kalau sampai surat itu ada di meja saya," tegas Ibra seraya mengeratkan cengkramannya di lenganku. "Dengar kamu?"

Lemons✔️Where stories live. Discover now