22☁️ Banyak Bertanya

52.2K 3K 10
                                    

22
.
.
.

Baiklah, sekarang Rima harus menyiapkan beberapa kata untuk menjawab pertanyaan tuannya ini. sepertinya malam ini waktu tidurnya akan berkurang.

Dentingan jam dinding terdengar jelas, serta sebuah suara gemeletuk dari pertemuan jari-jari besar Rega dengan meja makan.

Malam yang tadinya terasa panas dan gerah, sekarang mendadak dingin. Benar kata Rima , hujan akan turun. Belum lagi angin yang menggelebu menambah suasana dingin semakin mencengkram.

"Cepatlah. Saya sudah lama menunggumu diam seperti itu," ucap Rega. Jari-jari tangannya masih setia beradu dengan meja makan.

"M-mmulai dari mana?" Cicit Rima.

"Prolog," balas Rega cepat. Dia merasa gemas sendiri dengan pertanyaan yang wanita ini keluarkan.

Rima semakin menunduk. Wajahnya memerah, bisa-bisanya bertanya seperti itu, dia malu.

"Sebelumnya kamu tinggal di mana?" Rega bertanya.

"Di kontrakan, letaknya lumayan jauh dari sini," jawab Rima. Bukan lumayan lagi, tapi memang sangat jauh. Kakinya terasa mau patah saat 'kemarin' berjalan tanpa ada arah tujuan.

Rega mengangguk, kemudian pandangannya beralih ke atas, mungkin sedang berfikir. "Lalu kenapa kamu bisa ada di sini sekarang. Tidak bisa bayar?" Tanya Rega lagi, sekaligus menebak.

"Terus kenapa?" Tanya Rega, saat mendapat gelengan kepala dari Rima.

Tangan Rega terkepal, ini sangat langka, dia tidak pernah secerewet ini sebelumnya. Hanya karna ingin tau masa lalu wanita ini dia bisa menjadi laki-laki bawel begini.

"Saya mau kamu yang bercerita dan banyak mengeluarkan kata-kata. Bukan saya yang terus bertanya!" Tegas Rega. Bisa-bisanya mulut itu tidak berhenti bertanya.

"Saya di usir,"  ucap Rima pelan.

Dahi Rega mengernyit. Dia tatap wanita itu yang sedari tadi terus menunduk. Sekarang Rega tau bahwa menunduk adalah hobi dari wanita bernama Rima itu. Sejak bertemu dengannya, Rega tidak pernah melihat wajah Rima dengan jelas sebab hobinya, yaitu menunduk. Rega juga tidak begitu tertarik untuk memperhatikannya.

"S-saya di usir karena, ada satu hal yang menyebabkan saya di usir dari sana," cap Rima berbelit.

Baru saja mulut berbibir tebal itu terbuka, ingin bertanya lagi, tapi urung sebab Rega Narendra regard tidak pernah bertanya sesering itu.
Biar saja wanita itu yang bercerita. Dia tidak ingin lagi mengeluarkan pernyataan. Akhirnya Rega memilih mengangguk meladeni ucapan Rima yang berbelit.

"Tidak ada yang perlu di khawatirkan, saya dan anak saya tidak pernah melakukan tindakan kriminal. Dulu saya hidup di desa, ibu dan bapak mengajarkan saya dengan baik. Ada satu keadaan yang membuat saya harus meninggalkan tempat itu, dan memilih tinggal di kota dengan mengontrak........" Cerita mengalir begitu saja dari mulut Rima.  Banyak kenangan yang tertinggal di ruangan sempit itu. Selama bercerita, Rima teringat akan Bu Desi yang sudah banyak membantunya. Sedih rasanya, perpisahan  mereka sangat tidak baik seperti ini. Semoga saja Bu Desi bisa lebih tenang karena ia sudah pergi dari sana. Rima baru sadar, Bu Desi selalu memperhatikannya lewat jendela rumahnya. Itu berarti, waktu pak Dian menggodanya dan memberi barang atau apapun itu, Bu Desi selalu melihatnya namun, tidak semua, Bu Desi sudah emosi sendiri saat pak Dian memberikan uang atau barang kepada Rima tanpa melihat penolakan Rima terlebih dahulu.

"Ada satu hal yang ingin saya ketahui." Rega menatapnya lekat.

"Apa?"

"Mungkin ini termasuk privasi. Kalau kamu keberatan untuk menjawab, kamu tidak perlu menjawabnya," kata Rega dan Rima mengangguk samar.

"Dari banyaknya kalimat yang saya dengar dari cerita kamu. Tidak ada sedikit pun kata yang menyangkut tentang suami kamu." Raut wajah Rima berubah tegang. Dadanya berdegup begitu kencang.

"Dimana suami kamu?" Akhirnya Rega tarik kembali kata-katanya yang tidak mau bertanya lagi. Meskipun Rega sudah mendengarnya dari Rafa yang mengatakan kalau ayahnya sudah meninggal. Tetapi Rega ingin tau pasti. Seratus pembantunya harus jelas, supaya nanti tidak ada kesalahpahaman. Siapa taukan nanti ada seorang laki-laki yang mengaku suami dan ayah dari Rafa.

"Dia... Emm dia-"

Apa yang harus Rima katakan. Bahkan dia sendiri pun tidak tau siapa ayah Rafa.
"Dia... Sudah meninggal," ucap Rima pelan. Tubuhnya bergetar, raut wajahnya terlihat panik.

Rega mengangguk kecil. Meskipun hatinya tidak percaya. Kenapa tidak percaya? Sebab dia tidak menemukan raut sedih dan kehilangan dari wajah Rima, dia hanya melihat raut ketakutan di sana.

"Melihat dari usia kamu, sepertinya kalian menikah muda? bukan muda lagi tapi kamu masih bocil waktu itu. tidak sekolah?" Rega kembali bertanya. sialan memang, otaknya memerinta untuk diam, tapi mulutnya ini sekarang sedang tidak bisa di ajak kompromi.

Tidak ingin memperpanjang, Rima hanya mengangguk sebagai jawaban. biarlah dia berbohong untuk saat ini.

"Ini sudah malam. Pergilah ke kamar, ini biar besok saja di bereskan." Mungkin sudah cukup untuk kejelasan dan asal usul pembentunya akhirnya Rega mengakhiri perceritaan malam ini. setelah mengatakan itu, Rega beranjak pergi ke kamarnya di lantai atas.

Rima menghela napas, dia tidak mendengarkan apa yang Rega ucapkan. Rima berdiri sambil mengusap kedua bahunya. udara dingin masih setia menyelimuti, hujan yang turun pun masih belum ada pertanda untuk berhenti.

Setelah semuanya bersih Rima baru masuk ke kamarnya dan juga Rafa. Mana bisa ia tidur dengan dapur serta meja makan yang berserakan. Dan lagi, kalau dapur dan meja makan tidak di bereskan malam ini, nanti pagi pasti akan sangat menumpuk.

Pintu kamar di buka, Rima melihat Rafa tidur hanya menggunakan singlet bergambar kartun nya. Kebiasaan anak ini tidur, dia sama sekali tida bisa tidur tanpa angin yang menyentuh kulitnya. apalagi harus memakai selimut, pasti tubuhnya sudah bercucuran dengan keringat.

Niat malam ini ingin mengajak Rafa mengobrol tentang tadi kenapa dia menangis, malah harus bercerita panjang lebar dengan tuannya.

Rima merebahkan dirinya di samping Rafa. tangannya selalu mengusap rambut anak itu, ini satu kebiasaan Rima sebelum tidur.

"ya Allah Maaf sudah berbohong," gumam Rima pelan.

Rima menutup matanya setah berdoa untuk tidur. mendadak dia rindu ibu dan bapak di desa, apa kabar dengan mereka, semoga mereka baik-baik saja.

Dengan sedikit paksaan Rima memejamkan matanya yang sulit sekali untuk tidur karena waktu tidurnya terlewat, ia berharap bisa bertemu ibu dan bapak sekalipun itu hanya sebuah mimpi.

Cerita yang mengalir dari mulutnya tadi, tidak semua Rima  ceritakan. ia hanya meyakinkan kalau ia dan Rafa berasal dari keluarga baik-baik dan tidak pernah berbuat kejahatan.

Beruntung tuannya itu tidak memaksanya untuk terus menjawab setiap yang dia tanyakan menyangkut hal privasi.

Rima baru sadar ternyata tuannya ini sangat menyebalkan dan banyak bertanya. sudahlah Rima lebih baik kamu tidur, supaya besok bisa bekerja lagi dengan baik.

 sudahlah Rima lebih baik kamu tidur, supaya besok bisa bekerja lagi dengan baik

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.
SINGLE MOTHER (End)Where stories live. Discover now