48☁️ Menantu Yang Tidak sempurna

44.5K 2.5K 52
                                    

48
.
.
.

"Dia baik'kan sama kamu? Dia bisa urus kamu?" Tanya Gina dengan sinis

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

"Dia baik'kan sama kamu? Dia bisa urus kamu?" Tanya Gina dengan sinis. Beberapa kali ekor matanya melirik Rima yang menyiapkan teh hangat. Dalam pikirannya sibuk melihat setiap gerak-gerik Rima. Tentu saja Rima agak risih dan merasa tengah di soroti sehingga pergerakannya cukup terbatas.

"Rega gak suka ibu bicara begitu. Dia istriku Bu," jawab Rega jengah. Meskipun dia tahu Rima tidak masalah dengan sikap Gina yang begini tapi, lama kelamaan telinganya akan panas.

"Ya tahu, janda itu sekarang istrimu. Mana sekarang udah sekamar lagi. Ibu gak pernah kasih ijin kalian buat satu kamar ya Rega!" Gina menatap tajam putra kesayangannya itu.

"Memang perlu ijin ibu? Tuhan saja mengijinkan. Kenapa Rega perlu ijin dari ibu buat satu kamar sama Rima?"

Bagus Rega. Teruskan saja. Melihat wajah Gina yang mulai tidak terkontrol dan siap membalas segala ucapannya lebih baik segera Rega alihkan pembicaraan ini. Dia tidak mau ibunya ini terus-menerus memojokkan Rima. Tidak tahu mau apalagi, padalah urusannya dengan teman-teman sosialitanya baik-baik saja dan Gina selalu membanggakan Rima di depan mereka semua. Mungkin Gina merasa masih belum bisa menerima menantunya sepenuh hati.

Menantunya yang tidak sesempurna yang dia bayangkan sebelumnya.

"Tanah yang ibu minta sudah Rega dapatkan alamatnya. Kapan ibu ada waktu buat ke sana? Jaraknya lumayan jauh dari sini." Malas dengan pembicaraan ini akhirnya Rega mengalihkannya.

"Beneran? Tapi bulan ini ibu sibuk. Temen-temen banyak yang ngadain acara masa ibu gak datang. Kamu aja sana yang cek sama ayah."  Gina mengalihkan pandangnya. Sempat melirik Rima sebentar di ujung sofa sana setelah itu kembali menyeruput teh tawar hangat.

"Akhir-akhir ini kantor banyak masalah, Rega gak bisa ninggalin gitu aja. Om Amar mungkin bisa. Dia cukup lenggang jadwalnya."

'Tak'

Suara cangkir dan piring kaca saling beradu. Gina sengaja menekannya agar Rega mengalihkan perhatian padanya sepenuhnya.

"Om? Sampai kapan kamu panggil ayah kamu Om Rega? Dia sayang sama kamu nak, cobalah sedikit menerima kehadiran dia dihidup kamu." Nada bicaranya mulai melemah. Perkataan Gina seolah pisau tajam yang menyadarkannya. Rega juga tahu bagaimana rasanya dipanggil Om dengan anak sendiri. Namun, mau bagaimana lagi agak susah untuk menerima ini semua. Bertanya ini yang di rasakan Rafa dan Om Amar.

Rega mengerti perasaan keduanya sekarang.

"Baiklah, Rega akan panggil Om Amar ayah. Asal ibu juga harus bersikap selayaknya mertua yang baik untuk Rima. Dia istriku. Apapun yang terjadi padanya saat ini adalah tanggung jawabku dan ibu tidak bisa membantah itu. Selamat malam."

Rega membungkukkan tubuhnya. Tanganya hinggap di bahu Rima yang sempat terdiam sejenak, merangkulnya dan membawa Rima menuju lantai atas, meninggalkan Gina yang masih mengepalkan tangannya dengan helaan napas yang keluar.

"Bulan depan jadwal ada yang kosong? Nanti kita cek tanah yang sudah Rega carikan. Apa ada waktu sayang?" tanya Gina dengan ponsel yang menyentuh daun telinganya.

"Tentu saja bisa." Amar menjawab senang di sebrang sana.

...

"Yakin ke sini? Ini lumayan jauh loh mas dari rumah. Kenapa Rega pilih tempat ini sih. Udah dua jam lebih ini masih belum nyampe juga."

"Kata Rega beli langsung saja kontrakannya. Kebetulan banyak orang baru dari luar kota sering sekali cari konran dekat sini. Kita juga bisa nabung lewat itu. Anis sudah besar, sebentar lagi masuk kuliah, kita perlu uang lebih banyak."

Gina masih menunjukan raut tidak senang, dia masih kesal dengan Rega dan juga Rima.  Amar memperhatikan wajah istrinya. Sesekali dia genggam tangan Gina dengan tangan kiri sedangkan tangan kanannya fokus untuk menyetir.

"Ibu juga jangan terlalu galak sama Rega dan menantu kita. Ayah tahu kok ibu masih belum terima kehadirannya. Tapi sekarang mau gimanapun Rima itu menantu kamu sayang. Kamu gak mau kan nanti Anis dapat perlaukan yang sama kaya Rima di rumah mertuanya. Sekarang baik-baik ya sama mereka."

Pelan-pelan Amar memberi pengertian pada istrinya.

Gina menghela napa panjang. Sejujurnya dia juga cape dengan semua ini. Di mulai kebohongannya pada teman-teman hanya karena sudah bosan di olok-olok belum punya menantu juga cucu saat berkumpul. Pernikah Rega yang kandas sebelum terikat dengan Claviora sudah cukup membuatnya frustasi sampai-sampai dia berbuat nekat dengan menikahkan Rega dan Rima tanpa pikir panjang.

"Iya nanti ibu coba buat lebih dekat lagi sama perempuan itu," jawabnya singkat. Entah itu beneran niat atau memang hanya karena jengah dengan ucapan suaminya.

Amar tersenyum dia elus kepala Gina pelan.

"Sekalian juga, deketin cucu kita. Rega sudah punya anak sekarang. Rafa itu cucu kita, jangan galak juga sama dia ya."

"Iya-iya. Ayah bawel banget sekarang. Udah kelamaan ngobrol sampe gak sadar ini udah nyampe. Parkir di sana aja ada tempat kosong."

Mobil terparkir pada salah satu ruko kosong yang punya halaman luas. Banyak orang berlalu lalang. Ternyata tempat ini tidak hidup masing-masing. Masih banyak orang yang ikut bergotong royong.

Gina turun sambil melihat sekeliling. Rumah kontrakan yang tidak begitu bagus, lantai yang kotor tidak dibersihkan, ada beberapa genteng yang terjatuh dan hancur menimpa tanah, bahkan ada jendela kaca yang retak akibat terjangan bola tapi, tanahnya cukup luas. Tidak apa-apa nanti dia bisa perbaiki supaya bisa lebih layak dari ini.

"Gimana? Ini Rega yang cari katanya nanti bakal lebih mudah dapat orang buat ngontrak. Selalu rame juga tempatnya."

Gina menganggukkan kepalanya. "Ini lumayan lah. Gak kumuh-kumuh banget. Ibu bisa kok ke sini sesekali."

"Kalau gak di kontrakin pun kita bisa tinggal di sini sementara waktu. Buat jadi rumah kedua kalau ada apa-apa." Amar kembali memperhatikan setiap detai bangunan.

Usai melihat-lihat kondisi bangunan juga tanah yang akan dibeli sekilas tak lama seorang wanita dengan daster juga handuk basah ditangannya menghampiri mereka berdua. Wangi khas shampo ketengan tercium jelas di hidung Gina. Rautnya tampak senang dan siap menyambut tamu yang akan membeli tanah juga kontrakannya.

Senyumannya yang lebar sampai-sampai giginya yang agak kuning terlihat begitu jelas. Hanya Amar yang membalas senyumannya tipis sedangkan Gina malah sibuk melirik wanita baya ini dari ujung rambut sampai ujung kaki.

"Bu Gina ya? Wah cantik sekali bu. Perkenalkan saya Bu Desi pemilik tanah dan kontrakan ini."

Boleh follow RosianaSalma

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Boleh follow RosianaSalma

SINGLE MOTHER (End)Where stories live. Discover now