39☁️ Detik ini

38.2K 2.5K 11
                                    

39
.
.
.

Hanya riasan kecil dan juga syukuran sederhana yang bisa Mardi berikan pada sang anak di hari pernikahannya ini.

Tak urung, Mardi pun merasa sedih  hubungannya dengan sang anak begitu jauh. Namun, Mardi pikir jikalau dia menikahkan Rima dengan segera, maka tanggung jawab yang dia tanggu terhadap Rima akan sepenuhnya berganti dengan suaminya yang bernama Rega itu.

Tatapan Rega yang begitu mantap meminta Rima di hadapannya langsung membuat Mardi tidak perlu berpikir keras. Mardi juga sudah shalat istikharah untuk membuat keputusan ini.

Dan sekarang, waktu pagi tiba usai malamnya mengadakan pengajian sekaligus pengumuman pada warga kalau Rima akan menikah paginya.

Meskipun banyak yang julid tapi, kampung ini menerima baik kedatangan Rima walaupun tidak sebaik menyambut tamu yang lain. Warga sekitar masih menganggap Rima perempuan yang akan mendatangkan musibah kalau dia tidak cepat-cepat pergi dari desa ini. Aib yang masih melekat dalam diri Rima tidak bisa sepenuhnya diterima di sini.

Bahkan kepala desa juga sudah mengingatkan Mardi untuk segera menikahkan Rima agar Rima bisa cepat kembali ke kota karena warga desa banyak yang khawatir kalau Rima terlalu lama di desa.

Memang sekejam itu kehidupan di desa. Banyak mulut yang akan berbicara.

Hari ini, di masjid desa dengan beberapa orang saksi. Hanya sedikit tamu yang datang. Akad akan dilaksanakan dengan hikmat.

Tangan Rega menggenggam erat tangan kasar nan keriput milik Mardi. Terlihat jelas kegugupan sang bapak dari Rima itu yang akan menyerahkan tanggung jawab atas diri Rima pada lelaki pilihan anaknya.

Ibu yang tengah sakit pun memaksa untuk ikut ke masjid walau tubuhnya lemah.

Perasaan Rima campur aduk bahkan cenderung sedih. Kalau bisa memilih. Rima akan mengulang waktu saja dan tidak akan pernah pulang di malam hari waktu itu.

Rima yakin kehidupannya jauh bahagia dibandingkan dengan kehidupannya saat ini.
Rafa menggenggam erat tagangannya. Dia mengerti kalau mamah kesayangannya ini sebentar lagi akan menikah dengan om Rega. Om yang membelikan kelinci juga memberikan tempat tinggal untuknya selama ini.

Rafa terus mendekati Rima, dia tidak merasa nyaman disaat orang-orang di sekitar sini terus memandang dirinya dengan tatapan menghujam.

Rafa ingin segera ke rumah dan bertemu dengan kelinci-kelincinya.

Suasana mendadak senyap. Rega menjabat tangan Mardi dengan mantap. Mengucap ijab qobul dengan begitu lancarnya. Lembut namun tegas, gugup namun, sama sekali tidak kentara. Rega terlihat begitu berwibawa.

Rega melirik Rima sekejap. Perempuan dengan gamis putih sederhana yang membalut tubuhnya itu ternyata mampu membuat hari Rega berdebar.

Mulai detik ini Rima dan Rega telah sah menjadi sepasang suami istri. Rega melepaskan tangan Mardi yang bergetar. Tangan dengan keriput itu mengusap air mata yang keluar, harus menerima dengan lapang dada jikalau saat ini putri satu-satunya sudah dimiliki orang lain.

Mardi dan Nilam hanya bisa mendoakan Rima dari jauh.

"Cium dong istrinya."

Anis mencubit untuk sekian kalinya paha Bima. Laki-laki itu memang tidak tahu kondisi. Anis yang sudah tahu tidak ada yang beres dengan hubungan Rima dengan warga sekitar lebih banyak diam takut mengacaukan suasana tapi, lelaki di sampingnya ini malah asal nyablak tanpa tahu tempat.

Alhasil kini semuanya memandang Bima sinis.

...

Hari yang spesial ini berlalu begitu saja. Tidak ada kesan istimewa kecuali pelukan Mardi pada Rega yang begitu kuat. Bapak dari Rima itu menitipkan secara tersirat putri satu-satunya untuk Rega jaga.

Jangan sampai Rega merusak Rima yang telah rusak. Mungkin itu pesan yang secara tidak langsung Mardi sampaikan pada Rega.

Rega merasakan begitu kuat kasih sayang orang tua Rima pada Rima. Namun, seolah ada sesuatu yang menghalangi Mardi untuk mengungkapkan kasih sayangnya kepada Rima. Entah apa itu, Rega tidak bisa mengetahuinya.

"Kami akan kembali ke kota. Jika bapak ingin menyusul kami ke sana. Ini alamatnya." Rega menyerahkan sebuah kertas berisi alamat rumahnya pada Mardi sebelum menaiki mobil untuk kembali ke kota.

Di dalam rumah, Rima tengah mendekatkan diri pada Nilam sebagai tanda pamit.

Tak lupa Rega sisipkan uang untuk orang tua lebih tepatnya untuk Nilam. Rega tidak berani memberikan langsung pada Mardi. Takut bapak dari Rima yang kini telah menjadi istrinya itu tersinggung.

Usai berpamitan. Kini Rega, Rima, Rafa, Anis dan juga Bima memasuki mobil dan siap untuk kembali ke perjalanan menuju kota.

Sepanjang perjalanan Rima hanya terdiam, bingung untuk bertindak seta pikiran yang kalut.

Apa baru saja dia mengambil keputusan yang salah?

Namun, kini sudah terlambat untuk membatalkannya. Rega, tuannya sekarang telah menjadi suaminya.

"Kak," panggil Rima pelan. Rafa sudah tertidur di pangkuannya. Sementara Rega tengah fokus untuk menyetir.

"Aku ingin pulang kembali ke desa. Aku ingin mengurus ibu saja. Ibu sakit dan aku sangat bersalah kalau harus meninggalkannya seperti itu," ungkap Rima. Ada nada penyesalan dalam ucapnya.

Dia tidak tahu, Rega juga sedih menikahinya dengan cara seperti ini. Rega tidak mau membawa Rima jauh dari kedua orangtuanya tapi, kali ini berbeda. Situasi sedang mendesak semuanya.

Rima harus kembali ke kota, bagaimanapun dia sudah menjadi istri Rega, dan perintah Rega wajib dia turuti.

"Kamu sudah jadi istriku sekarang. Aku mengerti dengan perasaanmu Rima. Tapi, aku harap kamu menuruti semua perintahku. Urusan orangtuamu aku akan pantau dari jauh. Bila perlu kalau bapakmu setuju. Ibumu akan aku bawa ke kota dan mendapatkan perawatan yang layak. Tapi untuk saat ini semua itu belum memungkinkan." Kalimat terakhir Rega ucapkan dengan pelan.

Mempunyai ibu seperti Gina membuatnya harus serba hati-hati memasukan orang baru. Waktu membuat keputusan menampung Rima di rumahnya juga Rega kena semprot Gina.

Tapi Rega janji, dia akan menjaga mertuanya dari jauh.

"Kamu baik-baik saja? Mau berhenti dulu atau menginap di hotel. Kamu lelah?" tanyanya seraya memarkirkan mobil. Anis dan Bima sudah melesat duluan. Bima ada keperluan penting besoknya. Yah, berurusan lagi dengan ayahnya. Entah apa itu.

Rima menggeleng, "lanjut saja. Tapi kalau kakak lelah, kita bisa istirahat dulu. Terserah kakak saja."

"Kita istirahat dulu di rumah makan. Perut Rafa sudah bunyi," ujar Rega senyum-senyum sendiri.

Bukan perut Rafa yang berbunyi. Melainkan perut Rima. Rega mengatakan demikian hanya untuk menggoda Rima saja.

Akhirnya mobil ini berhenti di salah satu rumah makan. Memesan makanan dan makan bersama layaknya sebuah keluarga yang utuh.

Rafa juga sempat canggung dengan status baru dengan pria yang selama ini dia panggil om.

Tapi untunglah Rega bisa membawa putra dari istrinya itu kembali pada sikap awal dan tidak terlalu canggung.

Tapi untunglah Rega bisa membawa putra dari istrinya itu kembali pada sikap awal dan tidak terlalu canggung

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.
SINGLE MOTHER (End)Where stories live. Discover now