38☁️ Waktu Dekat

39.1K 2.5K 13
                                    

38
.
.
.


Kini Rima duduk di bawah ranjang usang yang Nilam tiduri. Wanita yang telah melahirkannya itu terbaring lemas. Ia juga percaya tidak percaya bahwa putri kesayangannya ada di depan mata.

"Makan dulu ya." Rima mencoba menyuapi Nilam. Sudut matanya basah. Rima sedih keluarganya tidak sebahagia dulu. Ini juga karena dirinya. Rima marah pada dirinya sendiri.

Nilam, tersenyum. Dia menerima setiap suapan yang putrinya berikan. Menepis semua kesalahan Rima dan berharap masih bisa dipertemukan dengannya lagi.

Bahkan Nilam, sama sekali tidak menanyakan tujuan Rima untuk pulang ke desa saking bahagianya.

"Kamu baik-baik saja kan nak di sana?" Tanyanya lemah. "Cucu ibu mana?" Lanjutnya.

Rima mengusap pipinya yang basah.

"Rima baik Bu, Rafa juga sedang tidur. Dia lelah saat di perjalanan tadi."

Kening Nilam menyernyit, "kamu sama siapa ke sini nak? Berdua saja kan?"

Rima menghela napas. Menunduk dan mengaduk-aduk bubur dalam mangkuk berwana biru itu.

Baru saja bibirnya terangkat hendak menjawab. Mardi membuka pintu kamar, wajahnya menatap Rima dengan serius.

"Ada yang bapak mau bicarakan sama kamu," ucapanya setelah dia mengurus tempat untuk Rega dan yang lainnya tidur malam ini.

Rima mengangguk. Hendak keluar dari kamar untuk berbicara di rumah tamu saja. Namun, Nilam menahan tanganya.

"Di sini saja. Ibu juga mau dengar," pintanya.

Mau tidak mau Mardi dan Rima mengalah. Mardi langsung duduk sambil memijat betis Nilam. Tidak mau memandang anaknya Rima walau rasa kangen masih ada.

"Siapa mereka?" Tanya Mardi memecah keheningan.

Saat Nilam ingin bertanya siapa mereka yang suaminya maskud itu. Mardi dengan cepat menyela, "ibu dengarkan saja. Jangan bertanya dulu."

Nilam diam, dia tidak jadi menanyakannya.

"Jawab Rima." Mardi menekan sedikit suaranya karena Rima tidak kunjung menjawab.

"Ini, mereka. Khm, maksud Rima." Rima mengatur napasnya. Dia susah sekali berbicara saat ini.

Mardi diam saja. Sekarang dia menunggu Rima menyusun kata-kata dahulu.

"Sebelumnya, Rima mau minta maaf kembali setelah apa yang Rima lakukan selama ini. Alhamdulillah keadaan Rima sangat baik. Rima juga tidak bisa datang ke sini kalau kak Rega, tuan Rima tidak mengantar Rima ke desa ini." Rima terdiam sejenak.

"Kak Rega mau melamar Rima," lirih Rima. Kembali menunduk. Merasa malu karena dia pulang hanya untuk dirinya bisa menikah.

Mardi dan Nilam terdiam. Tidak tahu respon apa yang harus mereka berikan.

"Kami berdua sudah memaafkan mu nak tapi, untuk menikah secepat ini? Kamu tidak terpaksa kan?" Tanya Nilam lirih. Dia takut kalau pria yang akan menikahi Rima pria tidak baik.

Rima menggeleng, Rega memang memaksanya, tapi entah kenapa dia merasa tidak keberatan.

Selama ini Rega lah yang selama ini membantunya. Kalau tidak ada Rega, mungkin dia dan Rafa akan luntang-lantung di jalanan.

"Apa dia tahu tentang Rafa?" Tanya Mardi. Dan itu membuat Rima terkejut.

Rega tahunya Rima seorang janda. Pria itu tidak tahu kalau Rafa terlahir tanpa ayah yang pasti. Rima menunduk, meremas tanganya dan mengangguk walau ragu.

Tentu saja keraguan itu terlihat jelas oleh mata kedua orangtuanya. Mereka menghembuskan napas bersamaan. Saling pandang dan setelah itu kembali memandang Rima.

"Baiklah, besok bapak akan bicara dengan pria yang akan menikahimu," ucap Mardi dan bangkit dari sana. Ekspresinya tidak biasa Rima gambarkan dengan baik dalam benaknya.

Nilam mengelus tangan Rima. Mengurainya supaya remasan itu tidak terlalu keras. Takut kalau tangan Rima lecet akibat remasannya sendiri.

"Tidurlah ini sudah malam."

Sikap Nilam yang tenang mampu membuat Rima sedikit bisa bernapas. Yang sebelumnya dadanya terasa terhimpit beban

"Ibu juga istirahatlah."

...

"Jadi ada maksud apa datang ke mari?" Tanya pak Mardi serius menatap Rega.  Meskipun sudah tahu jawabannya. Namun, dia ingin mendengarnya langsung dari Rega.

Pagi ini, Rega kembali menemui pak Mardi. Bermaksud untuk menyampaikan tujuannya.

"Kami datang ke mari bermaksud ingin melamar Rima dan menikahinya dalam waktu dekat," jawab Rega begitu tegas. Matanya sempat melirik Rima yang tengah memangku Rafa.

"Waktu dekat?" Tanya Mardi mulai meninggikan suara.  Semua yang ada di dalam rumah terkejut termasuk juga Bima dan Anis.

Mardi melirik Rima tajam, "kenapa harus waktu dekat apa ada sesuatu?" Tanyanya curiga. Matanya memicing penuh selidik.

Rima menggeleng, dia hendak menjelaskan bahwa mereka tidak seperti yang pak Mardi pikiran.

"Bukan begitu pak, hanya saja undangannya sudah  disebar. Jadinya Rima dan Rega harus menikah lima hari lagi," balas Bima. Rega menoleh kearahnya. Mendelik kemudian mendengus, bisa-bisanya Bima berbicara seperti itu.

"Aduh," Bima meringis sebab Anis mencubit pahanya. Tak lupa tatapan tajam Anis hadiahi untuk Bima.

"Begini, sebelumnya ini semuanya serba mendadak. Tapi yang jelas, saya dan keluarga saya ingin melamar anak bapak yang bernama Rima," ucap Rega. Mencoba bersikap tegas. Namun, tak arogan.

Pak Mardi mengangguk, berulang kali dia tatap Rima dan Rega secara bergantian. "Baiklah. Tapi, saya tidak bisa datang ke kota," jawab Mardi. Dia begitu kecewa karena Rima datang membawa kabar yang begitu mendadak ini.

Rima terkejut. Napasnya sempat berhenti beberapa saat.

"Kenapa pak?" Tanyanya bergetar.

Mardi mengalihkan atensinya penuh pada Rima.

"Bapak akan nikahkan kalian berdua di sini! Setelah itu, kalian bisa rayakan pernikahan di kota. Bapak tidak bisa pergi ke sana," ucapnya. Tak urung Mardi juga sangat sedih. Namun, di sudah terlanjur sakit hati. Rima datang kemari karena butuh dia untuk akad. Rima sudah tidak membutuhkannya lagi. Hanya itu yang terlintas di benak Mardi sekarang.

Satu tetes jatuh membasahi pipi Rima. sedih sekali karena sampai saat ini bapak ternyata belum sepenuhnya memaafkan kesalahannya.

Rega mengangguk, dia tidak bisa memaksa calon mertuanya untuk datang ke kota. Kalau dia harus menikah dengan Rima di desa ini Rega tidak masalah, "baiklah, saya hormati keputusan bapak," jawabnya setuju atas permintaan Mardi.

Anis dan Bima hanya bisa menghela napas. Kasihan sekali nasib Rega harus menikah dengan begitu ribetnya.

"Malam ini bapak akan adakan pengajian kecil-kecilan sekaligus persiapan buat akad besok paginya."

"

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.
SINGLE MOTHER (End)Where stories live. Discover now