• 3 •

55.2K 7.2K 1K
                                    

"Dokter..." lelaki kecil itu memanggil sosok yang lebih tua darinya. Sepasang mata biru yang menghiasi wajahnya, menatap jendela yang berembun karena hujan.

"Ya?"

"Kenapa Anda mau menjadi 'Dokter'?"

Pria dengan jas putih yang membalut tubuh tegapnya itu berhenti dari kegiatan membaca yang sedari tadi ia lakukan. Kepalanya mendongak, menatap pasien muda yang menjadi tanggung jawabnya sejak beberapa minggu yang lalu.

"Tentu saja karena ingin menyelamatkan nyawa seseorang," jawabnya.

Lelaki muda itu menoleh, menatap sang dokter dengan tatapan kosong.

"Bagaimana jika.."
.
.
.
"...jika seseorang yang Anda selamatkan itu, tidak ingin diselamatkan?"

•••••

El melangkah keluar dari bangunan besar bernama rumah sakit dengan langkah lebar. Tubuhnya dibaluti oleh kemeja hitam baru, yang diberikan oleh si pemuda tinggi yang saat ini berada di sampingnya. Tangan kiri El sudah diperban rapi. Sementara, tangan kanannya memegang kantong putih yang berisikan seragam kotor, serta sebuah kantong lagi yang berisikan obat pereda nyeri.

"Hah, gue masih ngga percaya kalo gue ngga boleh masuk ke dalam ruang operasi tadi," gerutu Alvano dengan tangan kiri yang menyisir rambutnya ke belakang, lalu ia menatap El, "emang luka lo separah itu sampe-sampe harus masuk ruang operasi dan cuma bokap gue doang yang boleh nanganin? Memang sih namanya operasi kecil, tapi kan ngga perlu masuk ruang operasi segala."

"Heh, emang lo siapa? Dokter?" El menyaut dengan malas. Menurut El, luka yang ia derita itu memang tidak terlalu parah, tapi memangnya siapa yang menyeret dia ke rumah sakit ini? Si pemuda itu! Dan lihat dia sekarang, asik menggerutu tentang seberapa tidak parahnya luka yang El derita, hanya karena ia tidak diperbolehkan masuk ke dalam ruang operasi tadi.

"Iya! Gue bakalan jadi Dokter di rumah sakit ini dimasa depan! Jadi, lo harus dengerin instruksi gue! Jangan sampe perban atau jahitannya kena air! Tangan lo jangan jahil ngebuka-buka perbannya kalo ngga perlu! Sepuluh hari lagi, lo harus balik ke rumah sakit ini untuk ngebuka jahitannya, ngerti?" ujar Alvano panjang lebar.

El hanya menatapnya malas, lalu meniup poni yang menghalangi pengelihatannya. Setelah itu, kakinya kembali melangkah tanpa mempedulikan Alvano.

"Brengsek," maki Alvano pelan. Ia segera menyusul pemuda pendek itu dan menarik lengannya pelan.

"Tampang lo meragukan. Gue ngga percaya kalo luka lo bakalan baik-baik aja nanti. Kasi gue nomor hape lo, cepetan!" Alvano mengeluarkan ponselnya dari saku celana.

El hanya menatapnya dalam diam. Berpikir kenapa dia bisa bertemu dengan pemuda cerewet macam ini? Padahal, ia kira pemuda ini tipe orang yang pendiam pada awalnya. Hah, ternyata dia salah.

"Buruan!" gerutu Alvano karena El tak kunjung membuka mulutnya dan memberikan sederet nomor.

"Gue ngga punya hape."

Kedua mata itu mengerjap.

"Hah?!" dahi Alvano mengerut. Zaman sekarang, anak SMA ada yang ngga punya ponsel?! Ya minimal ponsel Nokio jadul kek, atau samsang lipat, "sumpah lo?"

El mengangguk, "lagian, kayak yang lo bilang tadi, luka gue ngga parah. Jadi, lo ngga perlu secerewet itu tentang luka gue."

Alvano menatapnya lekat. Ada sesuatu yang mendorongnya untuk terus mengkhawatirkan pemuda pendek ini. Kedua matanya menatap manik sebiru langit yang tampak sendu itu. Lalu, turun ke luka kering yang ada di sudut bibirnya. Alvano menghela napas.

Happiness [SELESAI] ✔Where stories live. Discover now