• 19 •

36.9K 5.1K 408
                                    

Vano mengalihkan tatapannya dari kedua pria dewasa di depannya. Tampak tak suka jika harus mengatakan kejadian yang terjadi tadi.

"Daniel kambuh lagi, ya?" tanya Orly pelan, menatap Vano dengan sorot pengertian.

Vano menelan ludah, "saya ngga tau, maksud 'kambuh'nya El itu gimana. Saya ngga tau."

Pipi bagian dalamnya, Vano gigit. Dia merasa sangat tidak mengenal diri El, jika dihadapkan oleh orang-orang seperti ini. Seolah menegaskan, bahwa Alvano memang bukan siapa-siapa bagi pemuda kecil itu.

"Maksud saya, apa Daniel mencoba untuk gantung diri atau mutusin urat nadinya, yah semacam itu," jelas Orly.

Kedua tangan Vano mengepal, "El lompat dari balkon tadi pagi," ujarnya.

Raut wajah Orly berubah serius. Ia menoleh ke temannya, "Zin, jemput Lara sekarang."

Pria yang dipanggil Zin itu mengangguk, dan segera beranjak dari sana.

"Gimana keadaan, Daniel? Parah?" tanya Orly lagi. Sorot matanya berubah. Ada sesuatu yang memicu masa lalu El kembali, itu pikirnya.

"Koma," jawab Vano pelan. Giginya bergemelutuk menahan emosi.

"Lalu?" dari reaksi Vano, Orly cukup sadar, bahwa ada sesuatu yang lain, tertimpa pada El. Sesuatu yang akan mengubah hidupnya.

"...tangan kanannya diamputasi."

Kedua mata Orly sontak terpejam. Ngilu mendengarnya. Amputasi. Itu buruk sekali.

"Kamu tau kenapa Daniel lompat?"

Vano menatap pria itu, lalu menunduk. Kepalan tangannya semakin mengerat, "maafkan saya," bisik Vano.

Orly menajamkan telinganya. Dalam hati, ia berprasangka apakah pemuda ini yang menyakiti Daniel kesayangannya?

"Kalo aja saya ngga ngebiarin El ke sekolah kemarin."

Eh?

"Dia ngga akan ngalamin semua ini," lanjut Vano.

Dahi Orly mengerut, "ada apa dengan sekolah?"

Vano melirik pria itu dengan tak enak hati, "El dibully. Dan kemarin, dia dijamah," ujarnya pelan.

Emosi Orly naik. Tapi, dia cukup dewasa untuk mengontrolnya, "itu bukan bully. Itu pelecehan."

Kedua mata pria dewasa itu menatap ke sekitar. Mendapati sebuah tumpukan baju dan celana, diletakkan rapi di ujung ruangan. Tidak mungkin El meletakkan bajunya di situ. Dia punya lemari.

"Kamu tinggal di sini?" tanya Orly pada Vano.

Pemuda besar itu mengangguk. Orly membulatkan mulutnya dengan kaget.

"Wah, kamu pasti spesial, ya?" ujar Orly dengan kedua alis yang naik.

Dahi Vano mengerut. Spesial? Spesial bagi siapa? Siapa ke siapa nih?

Melihat raut bingung Vano, Orly bersedekap dada, "El aja ngga mau tinggal sama saya. Tapi, dia malah biarin kamu tinggal di sini. Berarti kamu spesial dong untuk dia?"

Hati Vano menghangat mendengarnya. Dia? Spesial untuk El? Ah, tapi, kan, dia tinggal di sini juga maksa. Ah, tapi, tetap saja rasanya senang mendengarnya.

"Masa?" tanya Vano pelan sambil mengulum senyum. Ia mengusap tengkuknya pelan, dan mengalihkan tatapannya ke arah lain. Malu-malu.

Semoga aja iya, batin Vano.

Orly mendengus pelan melihat reaksi itu. Dia sangat tau, arti dari gestur Vano. Bahkan, ia mengerti arti dari sorot matanya saat membicarakan El.

Cinta.

Happiness [SELESAI] ✔Where stories live. Discover now