• 14 •

40.6K 5.4K 929
                                    

Dia hampir mati.

Darah yang terus mengalir dari luka-lukanya membuat dia sekarat.

Si kecil itu sudah berharap dia akan bebas. Pergi dari dunia yang begitu kejam ini.

Tapi, tidak.

Mereka menyelamatkannya, lalu mengurungnya di sebuah bangunan bernama 'Rumah Sakit'.

Dipenuhi oleh orang-orang berjas putih yang menyeramkan. Lalu, jarum-jarum yang panjang. Dan alat-alat tajam yang mengerikan.

Dia sungguh harus pergi dari sana, atau dia akan gila karena isi dari bangunan itu.

•••••

Keesokan harinya, El sibuk membuat sarapan untuk dirinya dan Alvano. Sesekali, ia melirik si pemuda besar itu, yang sedang membuat susu cokelat untuknya.

"Kalo lo mau, lo boleh buat segelas untuk lo," ujar El pelan.

Vano tersenyum, "ngga usah. Gue mah ngga perlu susu lagi. Buat lo aja ini."

El kira, Vano akan menghujaninya dengan berbagai pertanyaan setelah apa yang terjadi dini hari tadi. Tingkahnya saat itu, pasti terlihat aneh di mata Alvano. Apalagi, dia menyebut-nyebut 'mereka'. Itu pasti aneh sekali.

"Gue jadi makin laper!" seru Vano, saat bau harum makanan semakin memasuki hidungnya. Bibirnya mengecap, tanda tak sabar.

El mengambil piring, untuk memindahkan nasi goreng yang ia buat ke sana.

"Pake cabe, kan?" tanya Vano, yang hanya dijawab dengan 'hm' oleh El.

"Berapa banyak?"

"Tiga."

"Harusnya lo tambahin lagi," ujar si besar itu.

El melirik, "masih mending gue masukin," balasnya sinis dan memberikan sepiring nasi goreng itu ke pemuda tersebut.

Alvano yang mulai terbiasa dengan sifat El, mengangguk-anggukkan kepalanya, "iya, iya."

"Lagian, sarapan pedes itu bisa bikin sakit perut," gerutu si pemuda cokelat itu.

Vano tersenyum kecil, "tumben lo yang ngingetin? Biasanya juga gue yang ngomong panjang lebar tentang hal-hal kek begitu."

El mendengus pelan, "sip. Gue diem."

Ia langsung mendudukkan dirinya dan menyendokkan nasi itu ke mulutnya. Jam telah menunjukkan pukul tujuh lewat lima belas menit. Bel masuk sekolahnya telah berbunyi sejak tiga puluh menit lalu.

Vano meletakkan segelas susu cokelat yang tadi ia buat, ke hadapan El. Lalu, ikut menikmati nasi goreng tersebut.

"Ah, enaknya~" gumamnya pelan, dan kembali menyendokkan makanan itu.

El melirik. Sungguh? Apa Vano benar-benar tidak ingin bertanya apa-apa padanya? Bukannya El ingin ditanya, hanya saja, bersikap seperti 'tidak tau apa-apa' itu bukan Vano sekali.

Ah, tunggu, tunggu. Kenapa dia jadi berpikir seolah ia tau sifatnya Alvano? Malah bagus, kan kalau dia tidak bertanya ini-itu. Iya, seharusnya El bersyukur.

Vano meletakkan piringnya di meja dan beranjak untuk mengambil air putih dingin.

"Lo ngga ada niat untuk beli termos gitu? Biar bisa simpan air panas," ujarnya, "kalo masak air mulu, kan ribet."

Happiness [SELESAI] ✔Where stories live. Discover now