• 7 •

43.8K 5.8K 438
                                    

"Dokter, saya mau mati."

Dokter muda di hadapannya menghela napas. Kedua tangannya yang jauh lebih besar dari si kecil itu, merengkuhnya dengan lembut.

"Saya tau, kamu sudah mengalami hal yang buruk sekali. Tapi, saya mohon. Jangan menyerah semudah itu. Kamu pasti bakalan nemuin kebahagiaan suatu saat nanti."

Kepala yang bermahkotakan helaian rambut cokelat sepunggung itu menggeleng,"bahagia ngga bakal mau ketemu saya. Dia ngga kenal saya. Jadi, dari saya lahir, dia ngga pernah datang."

"Dia akan datang. Kamu tunggu aja."

•••••

El berakhir di atas motor Alvano yang masih memakai seragam pramuka. Sepuluh hari sudah terlewat semenjak pembullyan itu. Artinya, jahitan di tangan El sudah bisa dilepas sekarang. Yah, biarpun sebenarnya baru sembilan hari karena tangan El sempat dijahit ulang beberapa waktu lalu.

Si besar itu langsung menjemputnya setelah pulang sekolah. Lucu sekali melihatnya memakai baju pramuka. Sekolah Vano memang mewajibkan siswa/siswinya untuk mengenakan seragam pramuka tiap hari jum'at. Biasanya kan sekolah lain(termasuk sekolah El) mewajibkan siswa/siswinya menggunakan batik di hari jum'at.

Selama sepuluh hari kemarin juga, Vano selalu menyempatkan diri untuk berkunjung(merusuh menurut El)ke apartemen El. Ia selalu datang dengan sesuatu di tangan, entah itu jus, makanan, buah, apapun dan tentunya yang sehat-sehat. Ia juga pernah membawakan vitamin, tapi hanya disimpan oleh El, di samping obat pereda nyeri yang tak pernah ia sentuh sama sekali di dalam lemari atas.

Alvano memarkirkan motornya di parkiran khusus motor. El segera turun dari kendaraan tersebut, dan membenarkan sweater abu-abu yang ia gunakan.

"Kuy," telapak tangan Alvano yang lebar, menyentuh punggung kecilnya.

Bau obat-obatan yang El benci langsung menyeruak saat mereka masuk. Membuat kedua ujung bibirnya sedikit menekuk ke bawah.

Alvano segera membawa pemuda cokelat ini ke ruangan Ayahnya. Sebelum pergi ke sekolah tadi pagi, dia sudah menelfon pria paruh baya itu, bahwa dia akan membawa El ke rumah sakit saat pulang sekolah, untuk membuka jahitan tangannya. Jadi, pria itu bisa mengosongkan sejenak jadwalnya untuk El.

"Ayah~"

Pria paruh baya itu mendongak. Lalu, tersenyum tipis dan meletakkan lembaran-lembaran hasil pemeriksaan beberapa pasien yang ia pegang ke atas meja.

"Silakan duduk."

Tanpa disuruh pun sebenarnya Vano sudah akan duduk di sofa yang tersedia.

"Kita langsung saja ya," ujar pria itu.

El mengangguk, dan mengulurkan tangan kirinya saat pria itu duduk di hadapannya, dengan beberapa peralatan yang ia letakkan di atas meja tamu yang menjadi pembatas di antara mereka. Perban yang melilit, dibuka dengan perlahan.

Vano memperhatikan dengan seksama. Ini bukan pertama kalinya sih, dia melihat hal ini, tapi tetap saja sayang untuk dilewatkan baginya.

Sang Dokter memeriksa luka itu sejenak. Melihat apakah masih basah atau tidak. Setelah itu, mengambil antiseptik dan membersihkan luka itu terlebih dahulu. Lalu, mengambil forceps steril untuk mengambil simpul jahitan dan memotongnya dengan gunting bedah.

Sesekali, kedua mata Alvano menatap wajah El yang tak mengekspresikan apapun. Datar. Hanya alisnya yang terkadang sedikit berkerut saat merasakan sakit atau ngilu begitu benang ditarik.

Happiness [SELESAI] ✔Where stories live. Discover now