• 25 •

42.6K 5.3K 1K
                                    

Orly bersedekap dada.

Menatap El yang tengah menatap kosong ke arah selimut yang menutupi kakinya. Punggung pemuda kecil itu menyandar. Auranya suram.

Dia tidak mau diinfus, tidak mau makan obat, tidak mau berurusan dengan perawat atau pun Dokter. Tidak mau makan juga, kecuali ada Alvano yang akan memaksanya makan.

Orly menghela napas, dan mendudukkan dirinya di pinggir ranjang El. Tangannya terulur untuk menepikan rambut El yang mulai menutupi matanya.

"Daniel.." panggilnya pelan.

Manik biru itu bergulir ke arahnya. Orly mencoba untuk tersenyum.

"Saya punya temen baru loh! Kamu mau ketemu sama dia?" tanya Orly.

El hanya mengerjap pelan, dan kembali menatap selimut. Tangan kirinya mencengkram pelan selimut itu. Sekarang, apa yang bisa dia lakukan? Hal yang bisa ia lakukan dengan baik, hanya memasak dan bersih-bersih. Memasak itu perlu dua tangan. Kalau bersih-bersih, memang bisa kalo cuma satu tangan, tapi akan lama.

Orly menggeser duduknya agar lebih dekat dengan El. Ia menyentuh dagu anaknya itu, dan membuatnya mendongak.

"Hei.. perasaanmu bisa jadi lebih baik, kalau bertemu dengan teman saya yang ini. Seperti dulu," ujar Orly. Ia mendekatkan wajah mereka. Jemarinya yang tadi memegang dagu El, beralih menggenggam tangan kirinya, "Kamu mau ngerasa lebih baik, kan?" tanyanya.

El tak menjawab. Hanya menatap kedua mata Orly dalam diam. Orly tersenyum tipis. Ia melirik sebentar pintu yang masih tertutup rapat, lalu menatap El.

"Demi Alvano?" rayu Orly. Ingin tau, seberapa kuat pengaruh Alvano bagi anaknya ini. Namun, El tetap bungkam. Tak menjawab atau mengangguk untuk mengiyakan.

"...Demi saya?" ujar Orly lagi.

"Demi Zin?"

"Demi Diran?"

"Demi Edo?"

"Demi Tya?"

"Demi Aga?"

"Andrew?"

"Kevin?"

"Ian?"

Kedua tangannya menangkup pipi tirus itu.

"Demi semua orang yang mau kamu bahagia dan ngga terpuruk lagi?"

El menepis pelan kedua tangan Orly. Hatinya berdenyut sakit. El tidak bisa. Dia belum sanggup.

"Cinta aja ngga cukup, ya, Daniel?" tanya Orly pelan. Dia mengerti. Memang banyak yang sayang pada pemuda ini, tapi belum ada satu pun perasaan yang bisa sampai ke hatinya. El masih menahan perasaan-perasaan yang menurutnya asing itu, di luar zonanya.

Orly menepuk pelan pipi El, lalu beralih mengelus pundak kanannya dan terus turun untuk menyentuh lengan buntung itu. Namun, El kembali menepis tangannya. Kali ini, lebih kasar. El tidak suka.

"Pergi. Tinggalin saya sendiri!" serunya marah.

Pintu ruang inap itu terbuka. Vano masuk dan menatap mereka dengan khawatir karena mendengar seruan El tadi. Ia melangkah mendekati mereka, dan menatap El. Orly tersenyum samar.

"Kamu ngga akan pernah sendirian lagi mulai sekarang," bisik Orly. Lalu, berdiri dan tersenyum pada Vano. Ia menepuk pelan pundak pemuda besar itu, dan berjalan menuju pintu.

"Ah! Besok saya bawa temen saya itu, ya. Namanya Lara. Semoga aja kamu suka~" ujarnya pada El, dan pergi dari sana.

"Lo gapapa? Ada yang sakit?" tanya Vano lembut.

Happiness [SELESAI] ✔Where stories live. Discover now