• 6 •

46.1K 6.3K 665
                                    

Tetesan air mata terus mengalir sedari tadi. Tak bisa berhenti. Ia meringkuk pelan. Memeluk tubuh telanjangnya yang membiru di beberapa bagian.

Seluruh tubuhnya sakit. Dia tidak bisa beranjak dari sini. Sekadar untuk mengambil bajunya yang tergeletak di dekatnya saja ia tak mampu.

Lalu, sepasang kaki yang dihiasi high heels berwarna merah, berhenti di hadapannya. Ia mendongak.

"Ada pelanggan lagi untukmu."

Air mata itu semakin menderas. Sudah cukup. Dia tidak ingin lagi. Dia tidak mau.

Wanita itu mengisyaratkan kepada beberapa lelaki di luar sana untuk masuk.

Ia menatap wanita itu dengan tatapan memohon, "Mama.. hiks.. ampun.."

"Nikmati hukumanmu, dan berikan aku uang yang banyak," ujar wanita itu, dan melenggang pergi.

•••••

Tubuhnya terbaring lemas. Kedua matanya hanya menatap datar Poppy yang sedari tadi berlenggak-lenggok ke sana kemari seolah ia sedang sangat sibuk. Padahal yang kucing itu lakukan hanya mengitari apartemennya.

El tidak bisa terus begini. Ia tidak bisa hanya diam sepanjang hari. Ini membuatnya merasa semakin... Useless. Tidak berguna.

Ah, luka brengsek.

Lalu, ia bangun dari tidurnya. Duduk dan menatap pantulan bayangannya dari layar tv yang mati.

Sesekali, luka jahit di tangannya itu berdenyut nyeri. Memang sih, dari kemarin juga lukanya sudah seperti itu. Salahnya juga yang tidak mau meminum obat pereda nyeri yang sudah diberikan padanya. Tapi, seperti ini lebih baik. Daripada ia tidak bisa merasakan apapun. Lebih baik merasakan nyeri seperti ini.

El beranjak. Berjalan menuju kulkas dan membukanya. Lalu, mengambil sebuah apel merah yang diberi oleh Alvano kemarin, dan mulai menggigitnya. Masa bodoh apel ini belum dicuci. Dan ia kembali duduk di sofa.

Satu-satunya suara di dalam apartemen itu hanya bunyi ia menggigit apel dan mengunyahnya. Jam telah menunjuk pukul empat lewat lima belas menit. Matahari semakin turun. Di luar masih panas, tapi tidak sepanas siang tadi.

El hanya menatap kosong langit dari arah pintu balkonnya.

Ah, bosan sekali.

'tok!' 'tok!' 'tok!'

Matanya langsung memicing ke arah pintu yang diketuk. Itu pasti Alvano. Soalnya, tidak ada yang tau letak pasti 'rumah'nya ada di mana, kecuali Alvano dan Edo yang mengantarnya pulang kemarin malam.

Tsk! Biarkan sajalah.

'tok!' 'tok!' 'tok!'

"El?! Lo ada di dalem?!"

Tuh, kan. Itu suara Alvano. Ah, dia sedang tidak ingin diganggu. Menyebalkan sekali!

"El?!"

El memejamkan kedua matanya, lalu kembali membaringkan tubuhnya dan menggigit pelan apel di tangannya.

Ketukan itu tetap berlanjut sampai tiga puluh detik kemudian, hingga akhirnya ia berhenti. Lalu, suara kresek yang diletakkan di depan pintu terdengar. Hening lagi, dan tak lama kemudian, terdengar suara langkah kaki yang menjauh dari sana.

El membiarkan selama beberapa saat, sembari menunggu apelnya habis. Setelah itu, barulah ia bangun dari baringnya dan membuka pintu apartemen. Kepalanya melongok untuk memastikan bahwa Alvano benar-benar sudah tidak ada di sana lagi. Lalu, ia menunduk. Pemuda itu membawakannya sesuatu lagi. Ia mengambil kresek putih itu. Ada sebuah note kecil yang tertempel di sana.

Happiness [SELESAI] ✔Where stories live. Discover now