• 24 •

39.6K 5.2K 811
                                    

El belum bangun juga.

Alvano melipat kedua tangannya di samping kepala El, dan menatap wajah pucat itu dengan lekat.

Tak jauh darinya, Bara yang tengah duduk di dekat jendela, mendengus, "Mau lo pelototin sampe mata lo keluar pun, dia gabakal bangun, bego. Mending lo ajak dia ngomong daripada lo tatap aja," gerutu pemuda itu.

Vano mendelik, "Mau lo ngelamun sampe otak lo berdebu pun, lo gabakal dapet sekolah yang mau nerima lo. Mending lo rayu Om Raka dan minta home schooling."

Ya. Akhinya, SMA Bina Mulia ditutup. Maka dari itu, Bara kelimpungan mencari sekolah baru agar jalannya untuk mencapai cita-cita tercapai. Tapi, masalahnya, tidak ada sekolah yang mau menerima siswa dari Bina Mulia. Mereka sudah dipandang jelek terlebih dahulu karena reputasi sekolah mereka.

"Gue ngga mau home schooling," decak Bara.

"Daripada lo ngga sekolah? Pilih mana?"

Bara menghela napas, dan mengalihkan tatapannya ke luar jendela. Hujan turun. Ia kembali meratapi nasibnya yang tak secerah milik Alvano. Ah, tidak boleh! Dia tetap harus bersyukur karena setidaknya, nasibnya tidak sekelam milik....

..Daniel.

"Om Raka kapan mau kemari?" tanya Vano. Jemarinya memain-mainkan helaian rambut cokelat itu dengan pelan. Lalu, memperhatikan kulit El yang semakin pucat. Atau menyadari bulu mata El yang lumayan panjang.

"Gatau. Dia diem doang pas gue tanya."

Vano mengangguk. Ia berdiri, kakinya pegal karena terus bertumpu pada lututnya sedari tadi. Lalu, mulai merenggangkan tubuhnya.

"Kalo aja.."

Vano menoleh, menatap Bara yang bergumam.

"..El ngga bangun-bangun, gimana?" tanya pemuda itu.

"Gue bangunin paksa."

Bara mendengus, "Mana bisa, bego," gerutunya sambil menatap Vano.

Ekspresi pemuda tinggi itu berubah. Tak senang dengan pertanyaan Bara. Vano tau, semakin lama koma berlangsung, maka peluang sadar bagi penderitanya juga semakin tipis.

Bara menelan ludah, "Lo.. ngga tau lagu kesukaan El? Kalo ngga salah, gue pernah denger ada pasien yang bagun dari koma karena denger lagu kesukaannya."

Alvano menggeleng, "Ngga tau."

Dia mendudukkan dirinya dipinggir ranjang El. Menggenggam tangan kiri itu, dan mengusap punggung tangannya pelan.

Dia tak sabar untuk melihat kedua mata itu membuka. Vano rindu pada mata biru yang cantik itu, atau pada dengusan sinisnya, dan pada ucapan-ucapan kasarnya yang kadang membuat Vano tersinggung.

Bara beranjak dari duduknya, "Gue pulang duluan, deh."

Vano ikut berdiri, "Gue anter sampe depan."

Ujung jari Vano menggesek pelan pada permukaan tangan El.

"Gue anter si Bara dulu," pamit Vano. barulah ia mengikuti Bara yang sudah keluar dari ruangan itu terlebih dahulu. Dan matanya tak melihat kerutan pelan di dahi El, atau tangan El yang menggeser sedikit.

"Gue serius, lo harus home schooling," ujar Vano.

"Bawel."

"Emang lo ada rencana?"

Bara melotot, "Lo ngga bisa diem ya? Gue pandai nyari idup sendiri."

Vano berdecak, "Hidup kok dicari."

Happiness [SELESAI] ✔Kde žijí příběhy. Začni objevovat