• 28 •

40.6K 5.2K 1.3K
                                    

El mengerjap. Dahinya mengerut. Ia menatap wanita paruh baya itu dengan tak mengerti. Lalu, mengalihkan tatapannya ke arah Vano yang juga sedang menatapnya.

"Erm.. saya bisa tinggal sendiri, Tante," ujarnya.

"Tinggal sendiri?" Vano meletakkan pisau yang tadi ia gunakan, dan membawa piring berisi potongan apel itu mendekat ke El, "Apartemen lo ada di lantai tiga. Satu-satunya cara untuk ke sana, ya naik tangga. Dan lo ngga bakal bisa naik ke sana dengan keadaan kaki lo yang begini," ujarnya.

El sontak menatap kaki kirinya. Ah.. semua ini karena fraktur sialan itu.

"Gue bisa tinggal sama Orly," ujar El pelan.

Vano menyodorkan piring tersebut, "Bukannya gue ngeraguin Orly, cuma gue rasa lebih aman, lo tinggal bareng kami. Kalo ada apa-apa yang terjadi sama tubuh lo, lo bisa langsung dapetin pertolongannya. Dan gue rasa, Orly ngga bakal keberatan kalo lo tinggal bareng kami."

"Gue yang keberatan," gumam El pelan.

Ibu Vano menggenggam tangan kiri El, "Nak, gimana kalo kamu coba dulu tinggal selama beberapa minggu. Kalo kamu nyaman sama kami, kamu harus tinggal. Kalo ngga suka, kami ngga bakal maksa lagi."

El menatap wanita paruh baya itu, lalu mengalihkan tatapannya ke Vano. Pemuda besar itu mengangguk menyetujui perkataan sang Ibu. Tapi, El masih ragu untuk mengiyakan.

Dia pasti akan sangat merepotkan sekali jika tinggal di sana. Dia belum bisa berjalan. Tidak bisa mandi sendiri. Mengenakan pakaian dengan benar pun ia tidak bisa juga. Makan pun terkadang masih harus diurusi oleh Alvano.

Menyebalkan.

Begitu tidak berguna.

Vano menepuk pelan punggung kecil El. Kedua matanya menyorot lembut. Begitu pula dengan ekspresinya yang menenangkan. Membuat El merasa... begitu berharga.

"Lo terlalu banyak mikir. Tinggal bilang 'ya', ngga terlalu susah, kan?" ujar Vano. Bibirnya melengkung manis.

Jantung El berdebar. Lengkungan bibir itu seolah mengambil napasnya secara paksa. Tapi, rasanya... menyenangkan?

"Ya."

Ah.. hanya perasaan El saja, atau memang semenjak ia bangun, El mudah luluh pada pemuda besar ini?

*****

Lalu, seminggu kemudian, El diperbolehkan keluar dari rumah sakit.

Vano senang bukan main. Ah, siapa juga yang tidak senang, jika akan tinggal serumah dengan orang yang dicintai? Dan lagi...

"Lo tidur bareng gue."

El mengerjap. Ia menoleh menatap Vano yang duduk di kursi pengemudi. Kedua mata pemuda itu fokus ke depan, dengan tangan yang sesekali memutar setir mobil.

"Kenapa?" tanya El.

"Akan lebih mudah kalo kita satu kamar. Jadi, kalo lo butuh sesuatu, gue bisa langsung bantuin."

Si kecil itu mendengus dan mengalihkan tatapannya ke arah jendela di samping, "Gue cacat bukan berarti ngga bisa ngelakuin apa-apa," gerutunya pelan.

Vano tersenyum tipis, "Gue ngga ada bilang kalo lo ngga bisa ngelakuin apa-apa. Gue cuma bilang, kalo gue mau bantuin."

El berdecak. Orly tidak bisa ikut menyambut El yang keluar dari rumah sakit. Pria itu sibuk sekali. Dia hanya mengucapkan selamat via telepon, dan meminta El untuk berhati-hati pada Vano dimalam hari. Katanya, takut El diserang.

Memangnya Alvano itu apa? Binatang buas?

"Di rumah lo sekarang, ada siapa?" tanya El.

"Cuma Adek gue. Bokap masih sibuk di rumah sakit, sementara Nyokap gue harus ke Apotek. Oh, ada Poppy juga."

Happiness [SELESAI] ✔Where stories live. Discover now