Special (2)

26.6K 2.2K 303
                                    

Kejadian itu begitu membekas diingatan. Tak memudar barang sedikit pun. Vano mengingatnya sangat jelas. Manik biru yang menderita. Senyum pilu yang terkembang. Lalu, hempasan tubuh. Darah. Mati.

Dia menangis keras ketika menatap tubuh tak bernyawa tersebut. Ia kira, itu karena dia shock. Namun, hingga detik ini, Vano belum bisa pulih. Setelah nyaris enam tahun pasca kejadian tersebut, ia tak bisa menghilangkan bayang-bayang pemuda itu. Rasa sesak seolah separuh hidupnya diambil paksa, masih bisa ia rasakan dengan jelas. Padahal, tak ada yang salah dengan tubuhnya. Juga, di bagian paru-paru. Ia masih bisa bernapas dengan leluasa. Namun, sesak tak kasat mata itu begitu menyiksa.

Dia tahu, begitu banyak perubahan yang ia lakukan karena menjadi saksi peristiwa mengenaskan tersebut. Kedua orang tuanya bahkan menjadwalkan sesi konseling dengan psikiater. Namun, sesi itu hanya berlangsung selama beberapa kali karena Vano menolak untuk melakukan konseling sejak kedua orang tuanya memutuskan untuk bercerai.

Ia tak memilih salah satu diantara mereka.

Vano memutuskan untuk sendiri.

Yang mana, hal itu membuat keadaannya semakin memburuk.

Dulu, Jeje sesekali masih mengunjunginya. Membawakan makanan hasil tangan sang Ibu, karena hak asuhnya memang berada di tangan wanita itu. Namun, setelah sekian kali datang, ia tak pernah menampakkan diri lagi.

Vano berpikir, mungkin Adiknya itu sudah muak. Sebab, Kakak yang dulu ia bangga-banggakan itu, telah menjadi seorang anti sosial yang selalu mengurung diri dan menolak untuk berbicara. Apalagi, dengan kesehatan mental yang terganggu. Memiliki seorang Kakak yang gila, pasti membuatnya malu. Juga, seorang saudara yang tak bisa diandalkan ketika keluarga mereka pecah berantakan.

Jeje pasti menyalahkannya. Karena semua ini berawal dari Alvano. Karena dia yang berubah sejak peristiwa itu. Menjadi sosok asing untuk keluarga mereka. Memicu perdebatan Ayah dan Ibu. Menjadi alasan perceraian tersebut. Lalu, dengan tidak tahu diri, selalu mengabaikan Adiknya ketika ia datang berkunjung.

Kedua matanya terpejam. Berusaha untuk bernapas dengan teratur. Menikmati keheningan yang selalu melingkupinya. Kemudian, matanya terbuka dan ia menoleh. Mendapati seorang pemuda dengan helai rambut berwarna cokelat, kulit putih yang pucat, juga mata sebiru langit di atas sana, tengah menatap ke arahnya.

Tangan Alvano terulur. Membuat pemuda itu melangkah mendekat. Ujung jemari menyentuh kulit pipi. Sorot matanya melembut.

"Hei.." Vano berbisik. Bibirnya tersenyum getir, "...lo hidup."

Tangannya digenggam. Pemuda itu balas tersenyum. Lalu, ikut menyentuh pipi Alvano. Kepalanya mengangguk, "Lo nyelamatin gue," lirihnya.

Kedua mata Vano kembali terpejam. Rasa sesak kembali memenuhi rongga dada. Ia menelan ludah. Kepalanya menyandar, "Gue gila," desahnya pelan. Lalu, ketika matanya membuka. Paras pemuda itu sudah ada tepat di depan wajahnya. Menatap Vano lekat dengan kedua tangan yang menangkup pipi Alvano.

"Lo ngga gila," bisik si pemuda. Kemudian, menyentuhkan dahi mereka, "Lo pahlawan gue."

Orang tuanya mengira, bahwa Alvano hanya trauma. Dia menjadi satu-satunya saksi tragedi bunuh diri yang mengenaskan tersebut. Menjadi satu-satunya, membuat tekanan yang dialami anak berumur tujuh belas tahun --ketika peristiwa itu terjadi-- semakin terasa berat. Apalagi, kejadian itu mengerikan dan Vano melihatnya tanpa berkedip. Melihat bagaimana tubuh itu nyaris hancur karena melompat dari lantai tujuh. Namun, ketika mereka menyadari bahwa putra sulung mereka mulai berhalusinasi, mereka sadar, keadaan putra mereka terbilang cukup parah.

"Gue nyelamatin lo?"

Helai rambut itu bergoyang ketika mengangguk, "Lo ngga inget? Lo lari masuk ke apartemen dan langsung narik gue dari sana."

Happiness [SELESAI] ✔Where stories live. Discover now