• 17 •

38.3K 5.4K 716
                                    

Vano terengah. Tangan kanannya menggenggam erat pergelangan tangan kiri El, sementara tangan kirinya berpegangan pada balkon agar tidak ikut jatuh. Ia panik sekali tadi. Vano takut bukan main.

"El, jangan bergerak, oke? Gue betulin posisi gue dulu, habis itu lo gue tarik," ujar Vano mencoba untuk tenang. Hampir setengah dari tubuhnya terperosok ke bawah. Kalau saja tangan kirinya tidak menahan, mungkin dia sudah akan ikut terjun bersama El. Ia segera menjejakkan kakinya ke lantai dengan hati-hati.

"Alvano.."

Vano menoleh. El mendongak menatapnya. Tangan kanan El terulur.

"Tunggu bentar. Lo ten-"

Tapi, tangan itu malah menggenggam tangannya yang menahan tubuh El. Lalu, jemari-jemarinya dipaksa melepaskan.

Wajah Vano langsung pias, "El, jangan lakuin itu," dia menggeleng. Tangan kirinya belum bisa melepas pinggiran balkon. Jika dilepas, mereka akan jatuh.

Sebuah senyum terbit dari paras wajah El. Hal yang dinanti-nanti oleh Vano setelah sekian lama. Namun, bukan senyum itu yang ia inginkan. Bukan senyum menyedihkan seperti itu.

"Makasih," ujar pemuda cokelat tersebut, dan dalam sekali sentak, genggaman tangan Vano terlepas.

"EEEELL!!!"

Vano berusaha menangkapnya kembali, tapi tidak bisa.

Tubuh itu terjun dengan mulus dari lantai tiga, dan mendarat di tanah dengan bunyi yang menyakitkan.

Tuhan, tolong bilang kalau ini hanya mimpi.

Vano langsung lemas seketika. Matanya memanas. Tak percaya sama sekali dengan apa yang baru saja ia lihat. Dengan sekuat tenaga, ia langsung berlari ke bawah dengan mata yang sudah mengeluarkan cairan beningnya.

Dia tak peduli sama sekali, dengan kata orang yang bilang bahwa laki-laki itu tidak boleh menangis. Persetan! Dia manusia. Menangis adalah hal wajar. Apalagi di saat seperti ini.

Vano takut sekali. Lebih lagi saat ia sudah tiba di belakang gedung, dan melihat tubuh El yang tergeletak begitu saja. Tangisannya mengencang. Melihat banyaknya darah yang keluar, semakin membuat Vano merasa takut.

Ia terduduk di samping tubuh itu.

"Jangan mati. Gue mohon, jangan mati," gumamnya putus asa. Ia mengusap pipinya sesekali. Vano harus tenang. Dia harus tenang dan memeriksa keadaan El. Dengan segera, ia memeriksa apakah masih ada hembusan udara yang keluar dari hidung El. Lalu, melihat apakah ada pergerakan di dada atau perutnya.

El harus hidup. El harus hidup. Itu yang ada dipikirannya.

Lalu, dia bisa merasakan hembusan napas pelan. Vano mengusap wajahnya lagi. Menghalau air mata-air mata itu. Bagus. El masih bernapas, walaupun lemah. Jatuh dari lantai tiga, bisa membuat nyawa korbannya melayang jika salah.

Napas Vano memburu. Dia masih terisak. Dengan panik, ia mengambil ponselnya dan segera menelpon sang Ayah. Telpon pertama, ia tidak dijawab. Isakan Vano semakin mengeras. Hidup El bisa tidak tertolong jika terlambat dibawa ke rumah sakit. Ia mencoba untuk menelpon lagi. Lama, namun kali ini diangkat.

'Vano, Ayah lagi-'

"Ayah.. kirimin ambulans cepetan! Ke Apartemen Arkais. Di belakang gedung apartemen!"

'Ada apa? Jangan nangis dulu..'

Tangisan Vano malah makin menjadi, "El.. El loncat dari lantai tiga.. uhh.. ugh.. Vano.. Vano udah coba selamatin, tapi.. tapi.."

Dia bisa dengar, Ayahnya berseru. Meminta untuk segera mengirim ambulans ke alamat yang Vano ucapkan tadi.

'Vano, dengarin Ayah. Kamu tenang dulu. Kami dalam perjalanan. Udah cek pernapasan El?'

Happiness [SELESAI] ✔Where stories live. Discover now