• 23 •

40.1K 5.1K 1K
                                    

Alvano mulai sekolah lagi semenjak ia pulang ke rumah. Ulangan Akhir Semester sudah menantinya. Jadi, dia harus mengejar tugas-tugasnya yang tertinggal karena lama tak sekolah.

Sekarang dia punya aktivitas baru. Sepulang sekolah, dia akan mampir ke rumah sakit untuk menemani El hingga menjelang maghrib. Apa saja ia lakukan di sana. Entah sekalian mengerjakan pr, atau hanya sekedar duduk sambil menatap El yang masih setia tidur, atau menghafal sesuatu.

Otaknya tak bisa ia ajak istirahat.

Dengan masih terbalutkan baju sekolahnya, Vano kembali menjenguk El. Biarpun belum ada tanda-tanda bahwa pemuda manis itu akan bangun, Vano tetap menunggunya dengan setia.

Ia mendudukkan dirinya di pinggir ranjang El. Kedua matanya menatap raut damai itu dengan lembut. Ia menggenggam pelan tangan kiri El. Mengusap punggung tangannya dengan sayang.

"Hari ini gue UAS, El," ujar Vano pelan, "berhubung gue pintar, jadi gue bisa ngerjain semuanya," lalu, Vano tertawa pelan, "kalo aja lo bangun, lo pasti sinisin gue karena ucapan narsis gue tadi."

Genggamannya ia lepas, lalu menyentuh pipi tirus itu, "cepet bangun. Lo ngga kangen galakin gue?"

Hanya hembusan napas teratur yang terdengar. Kedua mata itu masih setia tertutup entah sampai kapan. Alvano tersenyum miris.

"Kalo lo cepet bangun, bakal gue peluk sepuas lo. Gimana?"

Ia menyisir pelan poni El ke belakang. Lalu, membenarkan selimutnya. Setelah itu, menepuk-nepuk pelan perutnya. Ia tetap menatap El dengan penuh sayang. Lalu, merunduk dan mengecup keningnya dengan lembut.

"Gue sayang lo," bisiknya dan menatap El penuh cinta.

Tak sadar, bahwa kedua orang tuanya menatap perlakuannya itu sedari tadi lewat kaca yang berada di pintu.

Ayah menggenggam pelan tangan si Ibu. Menoleh untuk menatapnya lembut dan memaksakan sebuah senyuman.

"Kalo Alvano serius, dan sampai ke tahap lebih lanjut, kayaknya kita bakal sibuk untuk pulang-pergi luar negeri, ya?" ujar Sang Ayah dengan tawa pelan diujungnya. Tawa yang sama paksanya dengan senyuman yang ia buat.

Si Ibu menggigit bibir bawahnya. Menatap suaminya itu dengan berkaca-kaca. Lalu, membiarkan tetesan air matanya turun begitu saja.

"Sejak kapan?" tanyanya dengan suara bergetar.

Ayah menggeleng tanda tak tau. Tangannya melepas genggaman mereka, lalu merangkul bahu wanita yang mulai terisak itu. Mustahil mereka tidak kecewa.

Mustahil.

*****

Vano memasukkan motornya ke dalam garasi, lalu masuk ke rumah. Poppy menyambutnya di dekat pintu. Sama seperti yang ia lakukan saat di apartemen El. Vano segera menggendong kucing itu.

"Ah, udah pulang? Gimana ulangannya?" tanya Ibu yang langsung menyambut kedatangan Alvano.

"Baik," jawab Vano singkat. Dahinya mengerut melihat mata sembap wanita itu, "Ibu habis nangis? Kenapa?" tanyanya.

"Ah, ini, Ibu abis nonton film. Sedih deh filmnya, Mas," ujar Ibu berdusta.

"Film apa? Barat?"

"India."

Vano mendengus, "film India emang kalo sedih ngga tanggung tanggung, Bu."

"Iya kan? Sedih ibu tuh."

"Cuma film kok. Vano ke kamar dulu ya," ujar Vano.

"Iya, jangan lupa makan. Makanannya udah Ibu siapin di atas meja makan."

Happiness [SELESAI] ✔Where stories live. Discover now