• 18 •

39K 5.2K 797
                                    

Bara berdiri di depannya. Menatap baju berlumur darah kering itu dengan tangan mengepal.

"Jadi, lo mau gimana?" tanya Bara.

Alvano menatapnya datar, "apanya?"

"Si Cakra. Mau diapain enaknya?"

Vano beralih menatap lantai. Hatinya panas begitu mendengar nama itu.

"Gue culik, terus gue aniaya sampe mati. Selesai."

Kepalanya sontak digeplak oleh Bara, "serius kampret! Yang ada lo masuk penjara, anjing!"

"E babi! Gue serius-" ucapan Vano terhenti sejenak, "ah, atau gue sewa orang untuk nyodomi dia dulu, baru deh gue aniaya. Hmm.. kedengaran bagus."

"Kalo lo ngelakuin itu, lo ngga ada bedanya dari si Cakra."

Kini, Vano yang mengepalkan kedua tangannya, "dia harus ngerasain gimana perasaan El yang dia gituin."

Bara menghela napas, lalu mendudukkan dirinya di samping Alvano. Punggung itu bersender di dinding. Ia mendongak menatap langit-langit ruang tunggu.

"Maksud lo ngomong kata 'lagi' ditelpon tadi itu apa?" tanya Vano.

Bara meliriknya sebentar, dan kembali menatap langit-langit, "dulu El juga pernah mau loncat. Malah dari atap rumah sakit, tapi keburu gue tarik. Ngamuk deh dia, karena gagal."

Vano menatap sepupunya itu dengan serius, "lo tau masa lalu El?"

Bara memejamkan kedua matanya. Bau obat-obatan, menusuk hidungnya dengan tajam. Otaknya refleks memutar ingatan saat pertama kali ia bertemu dengan El.

Di siang hari yang cerah. Bau yang sama pula menusuk hidungnya. Di sebuah kamar khusus. Sesosok pemuda kecil yang begitu kurus, dengan kantung mata yang menghitam samar. Terduduk diam di atas ranjang. Auranya tak bersahabat. Tidak ada infus di sampingnya. Mata birunya mati. Gelap. Tak ada harapan. Kulitnya putih pucat. Beberapa bagian tubuhnya diperban.

Saat melihat kondisi El, Bara sontak bersyukur karena telah diberikan hidup tenang yang menyenangkan.

"Bar?"

Kedua mata Bara mengerjap, lalu balas menatap Vano, "gue ngga tau secara rinci. Tapi, bokap gue bilang, semua itu berawal karena," kedua mata Bara mengedar ke sekeliling mereka sejenak, barulah kembali menatap Vano dengan serius, "El dijual sama nyokapnya."

Dahi Vano mengerut, balas menatap Bara tak kalah serius, "dijual?"

"Maksud gue, bukan dijual kayak dipelelangan gitu. Bukan yang kayak di pasar-pasar gelap itu. Dijual," Bara mendekatkan wajah mereka, "dijadiin 'kupu-kupu'," bisiknya.

Vano terperangah, "lo gila. Ngga mungkin."

Sepupunya itu mendesah pelan, "bukan gue yang gila. Nyokapnya. Lo bayangin aja, anak umur sembilan tahun digituin," Bara seolah tersadar, dan menggelengkan kepalanya, "ngga, ngga. Bahkan, gue ngga tau, El udah jadi 'itu' sejak umur berapa."

Vano tak membalas. Tak tau mau berkomentar apa. Terlalu.. mengejutkan. Ia mengalihkan tatapannya ke arah dinding yang berada di depannya. Kerutan samar masih bisa terlihat di dahinya.

Hati Vano berdenyut sakit. Kenapa harus El? Kenapa bukan orang lain saja? Dan Ibu macam apa yang tega menjadikan anaknya sendiri sebagai alat pemuas nafsu?

Vano memijit pelan pangkal hidungnya. Kepalanya pusing. Dia belum tidur. Baru kali ini dia tidak tidur sama sekali.

Bara melirik tangan Vano, "lo ngga mau cuci tangan? Atau pulang dulu gitu, mandi sekalian."

Happiness [SELESAI] ✔Where stories live. Discover now