• 15 •

39.5K 5.4K 1.2K
                                    

"Cinta? Kau bermimpi? Sampai kapan pun, tidak akan ada yang mau mencintaimu."

•••••

Jantung El benar-benar berdegup sangat cepat. Keringat dingin mulai mengalir di pelipis dan punggungnya. Padahal, saat itu sedang hujan deras sekali.

Dia takut.

Tubuhnya bergetar pelan.

Kenapa dia harus hidup bersama luka-luka ini? Kenapa dia tidak bisa normal? Kenapa dia begitu menjijikan? Kenapa harus dia yang berlumur dosa? Kenapa? Kenapa? Kenapa? Kenapa? Kenapa?

"El.."

Tubuhnya menegang, "jangan lihat!" serunya. Dia malu. Kedua matanya terpejam erat.

Vano turun dari ranjang itu dengan perlahan. Lalu, menyentuh pelan bahu itu, yang sontak langsung ditepis oleh El.

Raut ketakutan dari pemuda cokelat ini, membuat Vano tak sampai hati. Ia beralih menatap tubuh itu. Ada beberapa bekas jahitan di sana. Lalu, bekas luka sayat. Bahkan, ada bekas luka bakar. Sebenarnya, apa yang pernah terjadi pada pemuda ini?

Kedua tangannya terulur, dan memeluk tubuh kecil itu. El memberontak.

"Sshh.. gapapa. Semuanya baik-baik aja, El. Gue ada di sini. Gue ngga akan ninggalin lo," bisik Vano lembut. Ia mengelus pelan belakang kepala El.

Mata El melebar. Ia mendongak dengan perlahan. Mendapati Vano tengah menatapnya dengan tatapan yang tak ia mengerti. Tidak ada sorot jijik di tatapan itu. Tidak ada sorot kasihan. Tapi, sesuatu yang El tidak tau.

"Lo.. ngga akan pergi?" tanya El pelan. Tangan kirinya menyentuh leher Vano, lalu merambat menangkup wajahnya. El menatapnya dengan penuh harap.

Vano menggeleng pelan, dan menggenggam tangan itu. Tangan yang masih bergetar karena 'takut' yang tak ia tau alasannya.

"Gue ngga akan pergi," ujar Vano lagi.

Lalu, cairan bening mengalir begitu saja dari kedua mata El. Membuat hati Vano seolah dicubit keras.

"Tapi, gue menjijikan," El kesakitan. Vano tak mengerti. Pemuda kecil ini seolah menanggung beban yang terlalu besar.

"Gue berlumur dosa," ujar El lagi.

Vano mengusap air mata itu. Dia sungguh tidak mengerti, apa maksud ucapan si kecil ini. Kenapa dia menjijikan? Kenapa dia berlumur dosa? Sebenarnya, apa sih yang pernah dia alami?

"Gapapa, El. Gue ngga akan ninggalin lo. Biarpun lo pendosa. Biarpun kata lo, lo itu menjijikan, gue tetep bakal di sini. Semuanya bakal baik-baik aja, oke?" Tubuh kecil itu kembali ia peluk. Sesekali, isakan terdengar darinya. Vano menepuk-nepuk pelan punggung itu. Menatap nanar, sebuah bekas luka panjang yang terlihat menyakitkan di punggungnya.

Ia melepaskan rengkuhannya. Lalu, berdiri. El segera mencengkram erat bajunya. Seolah tak membiarkan pemuda besar itu untuk pergi. Vano tersenyum menenangkan. Ia mengambil baju yang tadi tidak sempat El ambil, dan berjongkok.

"Pake baju dulu, ya. Ntar lo masuk angin kalo ngga pake baju," ujarnya lembut. Memakaikan El baju tidurnya. Mendapati bekas luka di pergelangan tangannya, serta sebuah luka memanjang sampai ke siku yang segera tersembunyi oleh lengan bajunya yang panjang.

Ah, Vano baru sadar bahwa El selalu memakai baju berlengan panjang.

"Ayo, tidur dulu, ya. Lo pasti capek," ujar Vano. Ia membimbing si kecil itu naik ke ranjangnya. Lalu, berbaring di sana dan membiarkan tubuhnya dipeluk erat.

"Jangan tinggalin gue," bisik El pelan.

"Ngga akan."

Wajahnya, El sembunyikan di perpotongan leher Vano. Mencari kehangatan dari tubuh besar itu.

Happiness [SELESAI] ✔Where stories live. Discover now