• 12 •

40.6K 5.3K 1K
                                    

Napasnya memburu. Tubuhnya bergetar melihat apa yang baru saja terjadi di depan matanya.

"Aww~ lihat, dia gemetar. Lucu sekali," ujar pria itu sambil tertawa kecil.

Dia semakin memundurkan tubuhnya. Menarik kedua kakinya dan menatap mereka dengan takut.

"Dengar, kalau kau tidak memberontak seperti dia, kami tidak akan melakukan hal buruk padamu," ujarnya lagi dengan tangan yang menunjuk ke arah tubuh tak bernyawa yang bersimbah darah di sana.

Si kecil itu menggeleng. Takut. Dia tidak percaya. Nyawanya pasti tetap terancam. Lalu, ia mendorong pria tersebut. Berlari sekuat tenaga. Tangannya terulur ke arah pintu yang membocorkan sedikit bias mentari dari bolongan kayunya.

Dan...

•••••

Alvano menggerutu. Mengusap belakang kepalanya yang sakit. Itu adalah daerah yang seharusnya dilindungi.

"Jahat banget ngatain gue 'pencabul'!" serunya tak terima. Dia itu bermaksud baik! Tidurnya terganggu karena El berteriak dan menangis. Jadi, dia mencoba untuk menenangkannya. Dan El baru tenang saat tubuhnya dipeluk. Lalu, letak salahnya dimana?!

El mengatur napasnya yang memburu. Tubuhnya bergetar pelan. Ingatan akan dirinya yang dulu, yang sering terbangun di dalam pelukan orang yang berbeda, seakan menamparnya. Perlahan, El mencoba untuk menenangkan dirinya.

"Lagian lo mimpi apaan sih sampai teriak-teriak begitu?" tanya Vano penasaran.

Jantungnya terasa berhenti. Ia menelan ludah, lalu menggeleng.

"Cuma mimpi buruk biasa," gumamnya. Lalu, menghela napas, dan melirik jam yang menunjukan pukul lima tiga puluh. Rambutnya ia acak sebentar.

"Kepala lo masih sakit?" tanyanya.

"Ah, engga kok. Udah mendingan," jawab Vano.

El mengangguk, "gue mau siap-siap dulu," ujarnya, lalu segera beranjak dari sofa. Tak lupa, handuk yang dari semalam menemaninya tidur, ia bawa. Setelah itu, mengambil seragam dan masuk ke dalam kamar mandi.

Vano menghela napas dan beranjak naik ke sofa, "pencabul, huh? Baru kali ini gue dikatain 'pencabul'," gumam Vano sembari menggaruk pipinya pelan, "emang pelukan termasuk hal cabul?" tanyanya bingung, "kayaknya ngga terlalu deh. Kecuali, dianya gue grepe-grepe."

Ia beranjak dan membuka gorden yang menutup pintu kaca balkon. Langit kebiruan tampak dari sana. Pintu itu ia buka, agar udara segar pagi bisa masuk ke dalam apartemen tersebut.

Poppy merenggangkan tubuhnya. Ia mengeong pelan, lalu menggesekkan tubuh berbulunya ke kaki pemuda besar itu. Tampak menyukai penghuni baru di wilayahnya ini.

"Apa? Lo mau makan?" tanya Vano.

Poppy mengeong.

Ia segera mengambil mangkok milik Poppy dan mengisinya dengan makanan yang berasal dari lemari atas. Lalu, meletakkannya di lantai. Kepala berbulu itu, ia usap pelan.

"Lo sehat banget sih jadi kucing. Coba liat pemilik lo. Kurus kering kayak kurang gizi," gerutu Vano.

Ah, El tidak sekurus itu kok.

Happiness [SELESAI] ✔Место, где живут истории. Откройте их для себя