• 31 •

42K 4.9K 973
                                    

Vano mendekati El yang tengah menyusun piring dan sendok di atas meja makan. Tanpa berkata apa-apa, ia ikut membantu pemuda cokelat itu. Menata sendok, garpu, serta gelas.

"Lo kenapa?" Vano bertanya pelan tanpa mengalihkan tatapannya pada El.

Si kecil itu menelan ludah dan menggeleng, "Ngga kenapa-napa."

Alvano mengehela napas dan memusatkan perhatian penuhnya pada El, "Gue udah pernah bilang kan, kalo lo ngga cerita apa-apa, gue ngga bakal bisa ngasi bantuan apapun. Cerita aja. Kenapa? Ada yang salah sama Om gue?"

El menunduk, dan menggigit bibir bawahnya, "Ceritanya panjang," gumamnya pelan.

Vano tak mengalihkan tatapannya sama sekali. Hanya menatap pucuk kepala yang bermahkotakan helaian rambut cokelat itu dalam diam. Lalu, saat El mendongak menatapnya, ia memberikan seulas senyum menenangkan.

"Gapapa. Cerita aja."

El mengalihkan tatapannya. Ke arah dinding di sebelah mereka, lalu beralih ke dapur di mana Ibu dan Tante Vano sedang sibuk. Setelah itu, menatap Jeje yang baru mendatangi ruang makan bersama teman tetangganya.

Melihat Jeje datang, Vano menggenggam pergelangan tangan kiri El, lalu menariknya pelan menuju kamar mereka yang memang berhadapan dengan ruang makan.

"Mas!" Teman tetangga Jeje menyapa pemuda tinggi itu.

Vano membalas dengan tersenyum ramah padanya, dan tetap menarik El.

"Suchart! Cepetan sini!" Jeje memanggilnya dengan wajah serius.

"Apa sih?! Panggil gue Chan!"

"Dih!"

Vano mengabaikan kedua orang itu, dan menutup pintu kamar. Lalu, berbalik menatap El.

"Di sini, lo bisa cerita tanpa takut kedengeran orang lain, kan?" ujarnya.

El menelan ludah.

"Sebenernya... gue ngga ada masalah sama Om lo," ujarnya pelan.

Vano mengangguk memahami, "Terus?"

"Cuma.. dia.. mirip sama.. seseorang yang.. gue benci?" El ragu pada kata terakhir. Benci? Dia benci atau takut?

"Mirip banget?" tanya Vano.

El mengangguk, "Banget."

"Semuanya mirip?"

"Semuanya."

Pemuda tinggi itu bersedekap dada, "Suaranya juga mirip?"

"Suaranya ju-eh?"

El mengerjap. Suara? Refleks, otaknya langsung mengingat suara pria yang ditakutinya dulu. Lalu, beralih mengingat suara Raka.

"Suaranya.. beda," ujar El pelan.

Vano menarik kedua sudut bibirnya, "Ooh," sautnya singkat. Lalu, mengangguk, "Cara bicaranya juga sama?"

Cara bicara?

"Pasti beda lah!" Pria itu selalu berbicara manis yang menakutkan, sementara Om Vano berbicara dengan lembut dan penuh kehati-hatian. Lalu, El mengerjap. Kaget dengan ucapan spontannya tadi.

"Ooh beda," Vano kembali mengangguk, "Senyumnya sama?"

"Lo bercanda?" Dahi El mengerut. Mana mungkin Om Vano memiliki senyum mengerikan seperti Pria itu! Pasti tidak mungkin!

"Terus, kalo matanya? Sama? Sorot mata mereka?"

El menggeleng, "Ngga mungkin sama!"

"Lalu, yang mirip itu apanya?"

Happiness [SELESAI] ✔Waar verhalen tot leven komen. Ontdek het nu